Skip to content

Al-Qur'an Surat Al-Hajj Ayat 25

Al-Hajj Ayat ke-25 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِۗ وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ ࣖ ( الحج : ٢٥)

inna
إِنَّ
Indeed
sesungguhnya
alladhīna
ٱلَّذِينَ
those who
orang-orang yang
kafarū
كَفَرُوا۟
disbelieved
kafir/ingkar
wayaṣuddūna
وَيَصُدُّونَ
and hinder
dan mereka menghalang-halangi
ʿan
عَن
from
dari
sabīli
سَبِيلِ
(the) way
jalan
l-lahi
ٱللَّهِ
(of) Allah
Allah
wal-masjidi
وَٱلْمَسْجِدِ
and Al-Masjid Al-Haraam
dan Masjidil
l-ḥarāmi
ٱلْحَرَامِ
and Al-Masjid Al-Haraam
Haram
alladhī
ٱلَّذِى
which
yang
jaʿalnāhu
جَعَلْنَٰهُ
We made it
telah Kami jadikannya
lilnnāsi
لِلنَّاسِ
for the mankind
untuk manusia
sawāan
سَوَآءً
equal
sama/bersama
l-ʿākifu
ٱلْعَٰكِفُ
(are) the resident
bertekun/menetap
fīhi
فِيهِ
therein
didalamnya
wal-bādi
وَٱلْبَادِۚ
and the visitor
dan datang berkunjung
waman
وَمَن
and whoever
dan barangsiapa
yurid
يُرِدْ
intends
menghendaki/bermaksud
fīhi
فِيهِ
therein
didalamnya
bi-il'ḥādin
بِإِلْحَادٍۭ
of deviation
melakukan kejahatan
biẓul'min
بِظُلْمٍ
(or) wrongdoing
dengan/secara zalim
nudhiq'hu
نُّذِقْهُ
We will make him taste
Kami rasakan kepadanya
min
مِنْ
of
dari
ʿadhābin
عَذَابٍ
a punishment
azab
alīmin
أَلِيمٍ
painful
yang pedih

Transliterasi Latin:

Innallażīna kafarụ wa yaṣuddụna 'an sabīlillāhi wal-masjidil-ḥarāmillażī ja'alnāhu lin-nāsi sawā`anil-'ākifu fīhi wal-bād, wa may yurid fīhi bi`il-ḥādim biẓulmin nużiq-hu min 'ażābin alīm (QS. 22:25)

English Sahih:

Indeed, those who have disbelieved and avert [people] from the way of Allah and [from] al-Masjid al-Haram, which We made for the people – equal are the resident therein and one from outside – and [also] whoever intends [a deed] therein of deviation [in religion] by wrongdoing – We will make him taste of a painful punishment. (QS. [22]Al-Hajj verse 25)

Arti / Terjemahan:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih. (QS. Al-Hajj ayat 25)

Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI

Sungguh, orang-orang kafir Mekah seperti Abu Sufyan bin Èarb dan kawan-kawannya yang menghalangi manusia dari jalan Allah untuk memeluk Islam dan menghalangi Rasulullah dan para sahabat melaksanakan ibadah umrah di Masjidilharam yang telah Kami jadikan terbuka untuk semua manusia yang beriman, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar daerah yang jauh; dan siapa saja yang berada di Masjidilharam yang bermaksud melakukan kejahatan seperti membunuh, mengintimidasi, menghalangi manusia masuk Islam, dan berbuat kerusuhan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih di akhirat berupa api yang terus membakar, air mendidih, dan cambuk yang menghancurluluhkan tubuh.  

Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI

Menurut riwayat Ibnu `Abbas ra ayat ini sesungguhnya diturunkan berhubungan dengan Abi Sufyan bin Harb dan kawan-kawannya. Mereka itu menghalang-halangi Rasulullah saw dan para sahabat memasuki Masjidil Haram untuk melakukan ibadah umrah di tahun "perdamaian Hudaibiyah". Karena itu Rasulullah enggan untuk memerangi mereka karena Rasulullah berada dalam keadaan ihram. Kemudian terjadilah kesepakatan yang melahirkan perjanjian Hudaibiyah, yang di dalamnya tercantum bahwa Rasulullah tidak jadi umrah di tahun itu, akan tetapi ditangguhkan sampai tahun depan dan mereka tidak akan menghalangi Nabi dan sahabatnya masuk Masjidil Haram untuk mengerjakan ibadah, pada tahun yang akan datang.
Ayat ini menerangkan bahwa semua orang yang mengingkari keesaan dan kekuasaan Allah, mendustakan rasul dan meningkari agama yang dibawanya, menghalang-halangi manusia masuk agama Islam dan menegakkan kalimat Allah, menghalang-halangi kaum Muslimin masuk Masjidil Haram untuk beribadat, baik orang-orang penduduk Mekah asli maupun pendatang dari negeri lain dan menghalang-halangi orang beribadat di dalamnya, niscaya Allah akan menimpakan kepada mereka azab yang sangat pedih.
Dari ayat di atas dipahami bahwa Masjidil Haram yang terletak di sekitar Ka`bah adalah suatu tempat bagi kaum Muslimin untuk mengerjakan ibadah haji, umrah serta ibadah-ibadah yang lain, seperti tawaf, salat, i`tikaf, zikir, dan sebagainya, baik mereka yang berasal dari Mekah sendiri maupun yang berasal dari luar Mekah. Dengan perkataan lain, bahwa semua kaum Muslimin berhak melakukan ibadah di tempat itu, darimana pun mereka datang. Allah mengancam dengan azab yang keras terhadap orang-orang yang mencegah dan menghalang-halanginya. Karena itu ada di antara para ulama yang mempersoalkan kedudukan tanah yang berada di sekitar Masjidil Haram itu, apakah tanah itu dapat dimiliki oleh perseorangan atau pemerintah, atau tanah itu merupakan hak seluruh kaum Muslimin. Untuk pengaturannya sekarang diserahkan kepada Kerajaan Arab Saudi, karena Masjidil Haram terletak di negara ini, selama negara tersebut melaksanakan perintah-perintah Allah melayani orang-orang yang ingin beribadah di sana.
Menurut Imam Mujahid dan Malik, Masjidil Haram itu adalah milik kaum Muslimin seluruhnya, tidak seorang pun atau sesuatu negara pun yang boleh memilikinya. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Abu Hanifah, alasan mereka ialah perkataan baik "yang bermukim maupun yang berkunjung" berarti Masjidil Haram dijadikan bagi manusia, agar mereka menghormatinya, beribadah di sana baik bagi orang-orang Mekah maupun orang-orang yang berasal dari luar Mekah.
Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa penduduk Mekah lebih berhak atas Masjidil Haram itu dari penduduk dari luar Mekah.
Alasan-alasan mereka yang lain ialah:
1. Menurut riwayat, bahwa Umar, Ibnu `Abbas dan banyak sahabat berpendapat, "Para pengunjung Masjidil Haram boleh menempati rumah-rumah yang didapatinya kosong, belum berpenghuni di Mekah, dan orang-orang Mekah sendiri yang mempunyai rumah kosong itu, hendaklah mengizinkannya."
2. Hadis Nabi Muhammad saw:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Rasulullah berkata, "Mekah itu pemberian, tidak boleh dijual hasilnya dan tidak boleh disewakan rumahnya. (Riwayat ad-Daruquthni)
3. Dan hadis Nabi saw lagi: Dari `Aisyah ra ia berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku buatkan untukmu rumah di Mina atau rumah yang dapat melindungi engkau dari terik panas matahari? Beliau menjawab, "Tidak, sesungguhnya tanah itu adalah hadiah bagi orang yang lebih dahulu mendapatkannya." (Riwayat Abu Daud)
4. Menurut suatu riwayat, pada permulaan Islam, Masjidil Haram tidak mempunyai pintu-pintu masuk, sehingga sampai pada suatu masa, banyak pencuri berdatangan, lalu seorang laki-laki membuat pintu-pintu, tetapi Umar melarangnya dan berkata, "Apakah kamu menutup pintu-pintu orang-orang berhaji ke Baitullah? Laki-laki itu menjawab, Aku membuat pintu-pintu untuk memelihara barang-barang pengunjung dari pencuri." Karena itu Umar ra membiarkannya.
Imam Syafi`i berpendapat bahwa tanah sekitar Masjidil Haram itu boleh dimiliki dan diperjual-belikan, asal tidak menghalangi kaum Muslimin beribadah di sana.
Dari Umamah bin Zaid, dia berkata, "Wahai Rasulullah bolehkah aku besok berkunjung ke rumahmu di Mekah? Rasulullah menjawab, "Apakah keluarga Aqil meninggalkan rumah? (Riwayat asy-Syaikhan)
Perbedaan pendapat ini berpangkal pada persoalan; Apakah Nabi Muhammad dan para sahabat pada saat penaklukan kota Mekah (fathu Makkah) dengan cara kekerasan atau dengan cara damai? Jika direbut dari tangan orang-orang musyrik dengan kekerasan, tentulah tanah sekitar Masjidil Haram itu merupakan harta rampasan bagi kaum Muslimin yang harus dibagi-bagi sesuai dengan ketentuan agama. Tetapi Rasulullah tidak membagi-baginya, sehingga tetaplah tanah itu merupakan milik bagi kaum Muslimin sampai saat ini. Hal seperti ini pernah pula dilakukan oleh Sayidina `Umar pada suatu daerah yang telah direbutnya dari orang-orang kafir. Pendapat kedua menyatakan bahwa tanah Mekah itu direbut Nabi Muhammad saw dengan cara damai, karena itu ia bukan merupakan barang rampasan, dan tetap menjadi milik empunya waktu itu. Kemudian diwariskan atau dijual oleh pemiliknya yang dahulu, sehingga menjadi milik dari pembeli pada saat ini.
Sekalipun ada perbedaan pendapat yang demikian, namun para ulama sependapat bahwa Masjidil Haram merupakan tempat beribadah bagi seluruh kaum Muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia. Mereka boleh datang kapan saja mereka kehendaki, tanpa seorang pun yang boleh mengganggu dan menghalanginya. Jika berlawanan kepentingan pribadi atau golongan dengan kepentingan agama Islam, maka kepentingan agama Islam yang harus diutamakan dan diprioritaskan. Tentu saja kaum Muslimin yang telah bermukim dan menjadi penduduk Mekah itu berhak dan boleh mencari nafkah dari hasil usaha mereka melayani dan mengurus jama`ah haji yang datang dari segenap penjuru dunia. Sekalipun demikian, usaha mengurus dan melayani jama`ah haji itu, tidak boleh dikomersilkan, tetapi semata-mata dilakukan untuk mencari pahala yang besar.
Masjidil Haram sebagai tempat yang suci dan kiblat umat Islam, memiliki keistimewaan dan kelebihan-kelebihan, di antaranya adalah:
a.Di tempat tersebut orang yang baru berencana saja untuk berbuat maksiat/makar, maka Allah akan mengazabnya. Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar, ad-dhahhak dan Ibnu Zaid, menyatakan bahwa bila seseorang sedang berada di Masjidil Haram, kemudian dia berencana untuk membunuh seseorang yang tinggal di Aden, maka Allah akan mengazabnya.
b.Ibadah yang dilakukan di Masjidil Haram mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan ibadah di tempat-tempat lain, bahkan satu kali salat di Masjidil Haram nilainya sama dengan seratus ribu kali salat di luar Masjidil Haram. Rusulullah bersabda: Dari Jabir bahwa Rasulullah berkata, "Salat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali dibandingkan dengan salat di luar masjidku, kecuali di Masjidil Haram. Dan salat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali dibandingkan salat di luar Masjidil Haram. (Riwayat Ahmad dengan sanad sahih)

Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah) dari ketaatan kepada-Nya (dan) dari (Masjidilharam yang telah Kami jadikan ia) sebagai manasik dan tempat beribadah (untuk semua manusia, baik yang bermukim) yang tinggal (di situ maupun di padang pasir) yakni pendatang (dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan) huruf Ba di sini adalah Zaidah (secara zalim) yang menyebabkan orang yang bersangkutan zalim, seumpamanya ia mengerjakan perbuatan yang terlarang, sekalipun dalam bentuk mencaci pelayan (niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih)" yang menyakitkan. Berdasarkan pengertian ini maka Khabar Inna diambil daripadanya. Maksudnya, sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan dari Masjidilharam, niscaya Kami akan rasakan kepada mereka sebagian siksa yang pedih.

Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Allah Swt. berfirman, memprotes perbuatan orang-orang kafir yang menghalang-halangi orang-orang mukmin untuk mendatangi Masjidil Haram guna menunaikan manasik mereka di dalamnya, juga memprotes pengakuan mereka yang mengklaim bahwa mereka adalah para penguasa Masjidil Haram. Untuk itu Allah Swt. telah berfirman:

dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya. Orang-orang yang berhak menguasainya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. (Al Anfaal:34), hingga akhir ayat.

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa ayat yang sedang kita bahas adalah ayat Madaniyyah, sama halnya seperti yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah oleh firman-Nya:

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al Baqarah:217)

Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram.

Yakni ciri khas orang-orang kafir itu di samping mereka adalah kafir, juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menghalang-halangi mereka untuk sampai ke Masjidil Haram. Yaitu menghalang-halangi kaum mukmin yang hendak menuju ke Masjidil Haram, padahal mereka adalah orang-orang yang paling berhak terhadap Masjidil Haram. Ungkapan tertib dalam ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain oleh firman-Nya:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar Ra'du:28)

Artinya, ciri khas orang-orang yang beriman itu ialah hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.

Firman Allah Swt.:

yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir.

Yakni orang-orang kafir itu menghalang-halangi orang-orang yang beriman untuk dapat sampai ke Masjidil Haram, padahal Allah telah menjadikannya sebagai tempat ibadah bagi semua manusia, tanpa ada beda, baik yang bermukim di situ maupun yang datang jauh dari luar.

sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir.

Karena itulah maka manusia mempunyai hak yang sama terhadap kawasan Mekah dan untuk tinggal di dalamnya.

seperti yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al Hajj:25) Bahwa penduduk Mekah dan selain mereka dapat tinggal di sekitar Masjidil Haram.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al Hajj:25) Bahwa penduduk asli Mekah dan selain mereka mempunyai hak yang sama untuk bertempat tinggal di Mekah.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Saleh, Abdur Rahman ibnu Sabit, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa sama saja haknya bagi penduduk asli Mekah maupun selain mereka dalam bertempat tinggal di Mekah.

Masalah inilah yang diperselisihkan oleh Imam Syafii dan Ishaq ibnu Rahawaih di Masjid Khaif, saat itu Imam Ahmad ibnu Hambal hadir pula. Imam Syafii berpendapat bahwa tanah kawasan Mekah boleh dimiliki, diwariskan, dan disewakan.

Imam Syafii mengatakan pendapat ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, dari Ali ibnul Hasan, dari Amr ibnu Usman, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah engkau besok akan turun di rumahmu di Mekah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Apakah Uqail telah meninggalkan sebidang tanah bagi kami (untuk tempat tinggal)?" Kemudian beliau Saw. bersabda:

Orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim, dan tidak pula orang muslim mewarisi orang kafir.

Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain.

Juga dengan sebuah asar yang telah menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah membeli sebuah rumah di Mekah dari Safwan ibnu Umayyah dengan harga empat ribu dirham, lalu Khalifah Umar menjadikannya sebagai rumah tahanan.

Tawus dan Amr ibnu Dinar mengatakan, Ishaq ibnu Rahawaih berpendapat bahwa tanah Mekah tidak dapat diwariskan dan tidak boleh disewakan. Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab segolongan ulama Salaf, dan dinaskan oleh Mujahid serta Ata. Ishaq ibnu Rahawaih melandasi pendapatnya dengan sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Isa ibnu Yunus, dari Umar ibnu Sa'id ibnu Abu Haiwah, dari Usman ibnu Abu Sulaiman, dari Alqamah ibnu Nadlah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. wafat, begitu pula Abu Bakar dan Umar, sedangkan kawasan Mekah tiada seorang pun mengklaim memilikinya, melainkan semuanya adalah tanah sawaib (milik Allah). Barang siapa yang miskin, boleh tinggal padanya, dan barang siapa yang kaya, boleh memberikan tempat tinggal.

Abdur Razzaq ibnu Mujahid telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa rumah-rumah di Mekah tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh pula disewakan. Abdur Razzaq telah meriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa Ata melarang menyewakan tanah Mekah. Ibnu Juraij telah menceritakan pula kepadanya bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab melarang pembuatan pintu di rumah-rumah di Mekah agar para jamaah haji dapat tinggal di halaman-halamannya. Orang yang mula-mula membuat pintu pada rumahnya adalah Suhail ibnu Amr. Maka Umar ibnul Khattab mengirimkan utusan kepadanya guna menyelesaikan perkara tersebut. Maka Suhail ibnu Amr menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya saya adalah seorang pedagang, maka saya bermaksud membuat dua buah pintu guna memelihara barang dagangan saya." Maka Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu boleh melakukannya."

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Mansur,dari Mujahid, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Hai ahli Mekah, janganlah kalian buat pintu-pintu di rumah-rumah kalian agar orang yang datang dari jauh dapat tinggal di mana pun ia suka."

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seseorang yang mendengarnya dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al Hajj:25) Bahwa mereka boleh tinggal di mana pun mereka suka di Mekah.

Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abu Nujaih, dari Abdullah ibnu Amr secara mauquf. Barang siapa yang memakan dari hasil sewa rumah Mekah, berarti dia memakan api."

Imam Ahmad ber­pendapat pertengahan, untuk itu ia mengatakan bahwa tanah Mekah boleh dimiliki, tetapi tidak boleh diwariskan dan tidak boleh disewakan. Pen­dapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari dalil-dalil yang ada mengenai masalah ini. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.

Firman Allah Swt.:

dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al Hajj:25)

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa perbuatan tersebut ditujukan kepada orang Arab. Huruf ba dalam ayat ini adalah zaidah, sama halnya dengan huruf ba yang ada dalam firman-Nya:

yang menghasilkan minyak. ((Al Mu'minun:20)

Artinya adalah tanbutud duhna (menghasilkan minyak). Begitu pula makna firman-Nya:

dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan. (Al Hajj:25)

Artinya adalah man yurid fihi ilhadan, yakni barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan di dalamnya. Sama pula dengan apa yaag terdapat di dalam perkataan seorang penyair, yaitu Al-Asya:

Tombak-tombak kami yang ada di antara panci-panci dan wadah-wadah kosong menjadi sarana yang menjamin rezeki anak-anak kami.

Dan ucapan seorang penyair lainnya, yaitu:

Di Lembah Yaman di Markh dan Syabhan tumbuhlah rerumputan di bagian tengah dan bagian bawahnya.

Akan tetapi, pendapat yang terbaik ialah yang mengatakan bahwa kata kerja yurid dalam ayat ini mengandung makna yuhimmu. Karena itulah maka diperlukan adanya huruf ba sebagai ta'diyah:

dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan. (Al Hajj:25)

Yakni berniat hendak melakukan suatu perbuatan maksiat yang besar di dalamnya.

Firman-Nya:

secara zalim. (Al Hajj:25)

Yaitu melakukannya dengan sengaja dan sadar bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan zalim, tidak mengandung arti lain. Demikianlah menurut penafsiran Ibnu Juraij, dari Ibnu Abbas, pendapat ini dapat dijadikan sebagai pegangan.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan zalim di sini adalah perbuatan musyrik.

Mujahid mengatakan, maksudnya bila disembah di dalamnya selain Allah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa perbuatan zalim ini ialah bila kamu melanggar kesucian tanah haram dengan melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah kamu melakukannya, seperti perbuatan menyakiti orang lain atau membunuh. Dengan kata lain, kamu menganiaya orang yang tidak menganiaya kamu dan membunuh orang yang tidak bermaksud membunuhmu. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, pastilah baginya azab yang pedih.

Mujahid mengatakan bahwa zalim di sini maksudnya perbuatan yang buruk atau jahat akan ia lakukan di tanah suci. Ini merupakan salah satu dari kekhususan tanah suci, yaitu bahwa seorang yang jauh akan dihukum dengan keburukan oleh Allah bilamana ia berniat akan melakukannya di tanah suci, sekalipun ia masih belum melakukannya.

Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari As-Saddi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang menceritakan hadis dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim. (Al Hajj:25) Bahwa seandainya ada seorang lelaki berniat akan melakukan suatu kejahatan secara zalim di dalamnya, sedangkan ia masih berada di negeri 'Adn yang jauh, tentulah Allah akan merasakan kepadanya sebagian dari azab-Nya yang pedih.

Syu'bah mengatakan, "As-Saddi-lah orang yang me-rafa'-kannya bagi kami, dan saya tidak me-rafa'-kannya bagi kalian."

Syu'bah bermaksud bahwa dia pun ikut terlibat dalam me-rafa-kan hadis ini. Ahmad telah meriwayatkannya dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama.

Menurut saya, sanad hadis ini berpredikat sahih dengan syarat Imam Bukhari, tetapi predikat mauquf-nya lebih mendekati kebenaran daripada predikat marfu'-nya. Karena itulah maka Syu'bah meyakinkan akan ke-mauquf-annya hanya sampai pada perkataan sahabat Ibnu Mas'ud r.a.

Demikian pula Asbat dan As-Sauri telah meriwayatkannya dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

As-Sauri telah meriwayatkan dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa tiada seorang lelaki pun yang berniat akan melakukan suatu perbuatan jahat (di tanah suci), melainkan dicatatkan baginya niat jahatnya itu. Dan seandainya seorang lelaki yang berada jauh di negeri 'Adn berniat akan membunuh seseorang di tanah suci ini, tentulah Allah akan merasakan terhadapnya sebagian dari azab-Nya yang pedih.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak ibnu Muzahim. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan makna bi-ilhadin fihi. Ia mengatakan bahwa maknanya adalah ilhadin fihi. Pada mulanya ia menolak, kemudian mengiyakan (yakni huruf ba-nya dapat dikatakan sebagai ba zaidah atau ba ta'diyah, pent.)

Telah diriwayatkan dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr hal yang semisal dengan riwayat di atas. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa mencaci pelayan adalah perbuatan zalim, terlebih lagi yang lebih parah dari itu.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Ata, dari Maimun ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al Hajj:25) Bahwa termasuk perbuatan zalim ialah seorang amir melakukan perniagaan di tanah suci.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa memperjualbelikan makanan di tanah suci merupakan perbuatan ilhad (jahat).

Habib ibnu Abu Sabit telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al Hajj:25) Makna yang dimaksud ialah melakukan penimbunan di Mekah. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya, dari pamannya (Imarah ibnu Sauban), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Bazan, dari Ya'la ibnu Umayyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Melakukan penimbunan makanan di Mekah merupakan perbuatan jahat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Ata ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al Hajj:25) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Unais. Rasulullah Saw. mengutusnya bersama dua orang lelaki, yang salah seorangnya dari kalangan Muhajirin, sedangkan yang lainnya dari kalangan Ansar. Kemudian di tengah jalan mereka saling membanggakan diri dengan keturunannya masing-masing. Abdullah ibnu Unais naik pitam, akhirnya ia membunuh orang Ansar tersebut. Kemudian ia murtad dari Islam dan lari ke Mekah (menggabungkan diri dengan orang-orang musyrik). Lalu turunlah firman Allah Swt.: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim. (Al Hajj:25) Yakni barang siapa yang datang ke tanah suci dengan niat berbuat jahat. Yang dimaksud ialah menyimpang dari ajaran Islam (alias kafir).

Semua asar yang telah disebutkan di atas —sekalipun pengertiannya menunjukkan bahwa hal-hal tersebut termasuk perbuatan ilhad (jahat)— tetapi makna yang dimaksud lebih mencakup dari semuanya, bahkan di dalam pengertiannya terkandung peringatan terhadap perbuatan yang lebih parah daripada hanya sekadar perbuatan ilhad. Karena itulah di saat tentara bergajah bermaksud merobohkan Ka'bah, mereka diazab oleh Allah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Al-Fil: 3-5)

Yakni Allah menghancurkan mereka dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran dan peringatan terhadap setiap orang yang berniat akan melakukan perbuatan jahat terhadap Baitullah. Karena itulah telah di­sebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Kelak Baitullah ini akan diserang oleh suatu tentara, hingga manakala mereka berada di tengah padang sahara, maka barisan yang terdepan dan barisan terbelakang dari mereka semuanya dibenamkan ke dalam bumi.

Hadis ini menceritakan kejadian yang akan terjadi menjelang hari kiamat nanti. Orang-orang tersebut dikenal dengan sebutan Zus Suwaiqatain (pent).

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kanasah, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id, dari ayahnya yang mengatakan, bahwa Abdullah ibnu Umar datang menemui Abdullah Ibnuz Zubair, lalu ia bertanya, "Hai Ibnuz Zubair, jangan sekali-kali kamu berbuat ilhad di tanah suci Allah ini, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya kelak akan berbuat ilhad seseorang lelaki dari kalangan Quraisy di Masjidil Haram ini, seandainya dosa-dosanya ditimbang dengan dosa-dosa dua makhluk (jin dan manusia), tentulah dosanya lebih berat.' Maka berhati-hatilah, janganlah sampai dia itu adalah kamu."

Imam Ahmad telah mengatakan pula di dalam Musnad Abdullah ibnu Amr ibnul As,

bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amr yang mengatakan, bahwa Abdullah ibnu Umar datang kepada Abdullah ibnuz Zubair yang saat itu sedang duduk di Hijir Isma'il. Lalu Ibnu Umar berkata, "Hai Ibnuz Zubair, hati-hatilah terhadap perbuatan ilhad di tanah suci, karena sesungguhnya aku bersumpah bahwa aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Bahwa kelak tanah suci ini akan dihalalkan oleh seorang lelaki dari kalangan Quraisy, seandainya dosa-dosa dia ditimbang dengan dosa-dosa dua makhluk (jin dan manusia), tentulah sebanding'." Kemudian Abdullah ibnu Umar berkata, "Maka perhatikanlah, janganlah sampai dia adalah kamu."

Akan tetapi, tiada seorang pun dari pemilik kitab hadis yang mengetengahkannya dari kedua jalur periwayatan ini.

Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab

Orang-orang yang mengingkari Allah dan utusan-utusan-Nya serta selalu menghalangi manusia untuk memeluk Islam dan menghalangi orang-orang Mukmin untuk memasuki al-Masjid al-Haram di Mekah--sedang Allah telah menjadikannya haram dan aman bagi semua orang, baik penduduk tetap maupun yang hanya berkunjung--akan dibalas oleh Allah dengan azab yang kejam. Begitu juga setiap orang yang menyeleweng dari kebenaran dan berbuat zalim di kawasan haram, ia akan disiksa oleh Allah dengan azab yang menyakitkan.

Asbabun Nuzul
Surat Al-Hajj Ayat 25

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus Abdullah bin Anis beserta dua orang lainnya, yang seorang Muhajirin dan seorang lagi Anshar. Dalam perjalanan, mereka saling membanggakan keturunan masing-masing, sehingga Abdullah bin Anis marah dan membunuh orang Anshar tersebut. Kemudian ia murtad dari agama Islam dan lari ke Mekah. Maka turunlah ayat ini (al-Hajj: 25) sebagai celaan terhadap perbuatan seperti itu.