Skip to content

Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 45

Al-Ma'idah Ayat ke-45 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ( الماۤئدة : ٤٥)

wakatabnā
وَكَتَبْنَا
And We ordained
dan Kami telah menetapkan
ʿalayhim
عَلَيْهِمْ
for them
atas mereka
fīhā
فِيهَآ
in it
di dalamnya
anna
أَنَّ
that
bahwasanya
l-nafsa
ٱلنَّفْسَ
the life
jiwa
bil-nafsi
بِٱلنَّفْسِ
for the life
dengan jiwa
wal-ʿayna
وَٱلْعَيْنَ
and the eye
dan mata
bil-ʿayni
بِٱلْعَيْنِ
for the eye
dengan mata
wal-anfa
وَٱلْأَنفَ
and the nose
dan hidung
bil-anfi
بِٱلْأَنفِ
for the nose
dengan hidung
wal-udhuna
وَٱلْأُذُنَ
and the ear
dan telinga
bil-udhuni
بِٱلْأُذُنِ
for the ear
dengan telinga
wal-sina
وَٱلسِّنَّ
and the tooth
dan gigi
bil-sini
بِٱلسِّنِّ
for the tooth
dengan gigi
wal-jurūḥa
وَٱلْجُرُوحَ
and (for) wounds
dan luka-luka
qiṣāṣun
قِصَاصٌۚ
(is) retribution
balasan (qisas)
faman
فَمَن
But whoever
maka barang siapa
taṣaddaqa
تَصَدَّقَ
gives charity
bersedekah/melepaskan hak
bihi
بِهِۦ
with it
dengannya (qisas)
fahuwa
فَهُوَ
then it is
maka dia
kaffāratun
كَفَّارَةٌ
an expiation
penembus (dosa)
lahu
لَّهُۥۚ
for him
baginya
waman
وَمَن
And whoever
dan barang siapa
lam
لَّمْ
(does) not
tidak
yaḥkum
يَحْكُم
judge
memutuskan perkara
bimā
بِمَآ
by what
dengan/menurut apa
anzala
أَنزَلَ
has revealed
menurunkan
l-lahu
ٱللَّهُ
Allah
Allah
fa-ulāika
فَأُو۟لَٰٓئِكَ
then those
maka mereka itu
humu
هُمُ
[they]
mereka
l-ẓālimūna
ٱلظَّٰلِمُونَ
(are) the wrongdoers
orang-orang yang dzalim

Transliterasi Latin:

Wa katabnā 'alaihim fīhā annan-nafsa bin-nafsi wal-'aina bil-'aini wal-anfa bil-anfi wal-użuna bil-użuni was-sinna bis-sinni wal-jurụḥa qiṣāṣ, fa man taṣaddaqa bihī fa huwa kaffāratul lah, wa mal lam yaḥkum bimā anzalallāhu fa ulā`ika humuẓ-ẓālimụn (QS. 5:45)

English Sahih:

And We ordained for them therein a life for a life, an eye for an eye, a nose for a nose, an ear for an ear, a tooth for a tooth, and for wounds is legal retribution. But whoever gives [up his right as] charity, it is an expiation for him. And whoever does not judge by what Allah has revealed – then it is those who are the wrongdoers [i.e., the unjust]. (QS. [5]Al-Ma'idah verse 45)

Arti / Terjemahan:

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ma'idah ayat 45)

Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI

Di antara hukum yang terdapat dalam Taurat adalah bahwa Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya, Taurat, hukuman yang sepadan, yaitu bahwa menghilangkan nyawa dibalas dengan nyawa, melukai mata dibalas dengan melukai mata, mencederai hidung dibalas dengan hidung, memotong telinga dibalas dengan telinga, merontokkan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisas-nya, yakni ada balasannya yang sama. Namun demikian, barang siapa melepaskan hak untuk melakukan qisasnya, maka sikap itu akan menjadi penebus dosa baginya. Sebaliknya barang siapa tidak memutuskan perkara yang terjadi dengan saudaranya menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah akan termasuk orang-orang yang zalim.

Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI

Di dalam Taurat, telah ditetapkan bahwa nyawa harus dibayar dengan nyawa. Orang yang membunuh tidak dengan alasan yang benar dia harus dibunuh pula dengan tidak memandang siapa yang membunuh dan siapa yang dibunuh. (Keluaran xxi. 24-25: "harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak¦"). Hukuman hampir serupa terdapat juga dalam Imamat xxiv. dan Ulangan xix.21.
Sekalipun penetapan dan ketentuan tersebut, diketahui oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi, namun mereka tetap tidak mau menjalankan dan melaksanakannya. Mereka tetap memandang adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan Yahudi Bani Quraizah, dan golongan Bani Quraizah kedudukannya lebih rendah dibanding dengan kedudukan golongan Bani Nadir. Sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh seorang dari golongan Bani Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu seorang dari Bani Quraizah membunuh seorang Bani Nadir, maka dia harus dibunuh.
Hal ini dan semacamnya, yang merupakan pembangkangan dan penolakan terhadap bimbingan, petunjuk dan hukum-hukum Allah yang ada di dalam Kitab Taurat berjalan terus sampai datangnya agama Islam. Setelah itu Bani Quraizah mengadukan adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat mereka, kepada Nabi Muhammad, oleh beliau diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara si A dan si B antara golongan Anu dan golongan Fulan, di dalam penerapan hukum. Hukum tidak memandang bulu, semua orang harus diperlakukan sama. Mendengar keputusan Rasulullah saw ini, golongan Bani Nadir rnerasa diturunkan derajatnya karena telah dipersamakan dengan golongan Bani Quraizah, orang yang mereka anggap rendah. Maka turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini Allah menegaskan kembali bahwa di dalam Taurat telah digariskan suatu ketetapan bahwa jiwa harus dibayar dengan jiwa sama dengan hukum kisas yang berlaku dalam syariat Islam. Pembunuh yang telah akil balig bila ia membunuh sesama Islam dan sama-sama merdeka, maka pembunuh tersebut baik seorang maupun beberapa orang harus dikenakan hukuman bunuh. Kecuali bagi orang gila yang benar-benar rusak akalnya, orang yang sedang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia balig, bila mereka membunuh tidak dikenakan hukuman kisas sesuai dengan sabda Nabi saw:
"Qalam telah diangkat dari tiga macam orang (artinya mereka tidak diperlakukan sebagai orang-orang mukallaf) yaitu orang-orang gila yang benar-benar telah rusak akalnya, sampai ia sembuh, orang yang tidur, sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia balig." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dari al-hakim dan 'Umar bin al-Khattab).

Selanjutnya orang yang mencukil mata atau memotong hidung atau telinga atau mencabut gigi orang lain, maka dia wajib dikenakan hukuman kisas, ditindak sesuai dengan perbuatannya, sesuai dengan firman Allah:

"Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia yang seimbang dengan serangannya terhadapmu." (al-Baqarah/2:194).

Begitupun melukai orang ada kisasnya. Orang yang melukai orang lain, dia pun harus dilukai pula sama dengan luka yang diperbuatnya baik mengenai lebar maupun dalamnya, sebagaimana firman Allah:

"Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." (an-Nahl/16:126).

Barang siapa melepaskan hak kisasnya dengan penuh kerelaan, dan memaafkan si pelaku sehingga tidak jadi dikisas, itu menjadi penebus dosa bagi yang memaafkan. Orang yang dibebaskan dari hukum kisas karena dimaafkan oleh pihak keluarga orang yang terbunuh, tidaklah berarti dia telah bebas dari hukuman seluruhnya, tetapi dia masih dikenakan hukuman diat (ganti rugi), sebagaimana sabda Nabi saw.:
Dari Abu 'Amr, Rasulullah Saw bersabda, "Barang Siapa membunuh dengan sengaja, maka putusannya diserahkan kepada ahli waris orang yang dibunuh. Kalau mereka mau (mengkisas) mereka dapat membunuhnya, dan apabila mereka mau (membebaskannya dari kisas) maka mereka berhak menerima diat (ganti rugi)." (Riwayat at-Tirmidzi).

Barang siapa tidak menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu kisas yang didasarkan atas keadilan, melainkan mempergunakan hukum sekehendak hatinya, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim, karena melanggar hukum Allah dan menganggap pihak yang dibunuh atau dianiaya itu adalah golongan rendah, tidak sederajat dengan pihak yang membunuh atau yang menganiaya.

Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka d dalamnya) maksudnya di dalam Taurat (bahwa jiwa) dibunuh (karena jiwa) yang dibunuhnya (mata) dicongkel (karena mata, hidung) dipancung (karena hidung, telinga) dipotong (karena telinga, gigi) dicabut (karena gigi) menurut satu qiraat dengan marfu'nya keempat anggota tubuh tersebut (dan luka-luka pun) manshub atau marfu' (berlaku kisas) artinya dilaksanakan padanya hukum balas jika mungkin; seperti tangan, kaki, kemaluan dan sebagainya. Hukuman ini walaupun diwajibkan atas mereka tetapi ditaqrirkan atau diakui tetap berlaku dalam syariat kita. (Siapa menyedekahkannya) maksudnya menguasai dirinya dengan melepas hak kisas itu (maka itu menjadi penebus dosanya) atas kesalahannya (dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah) seperti kisas dan lain-lain (merekalah orang-orang yang aniaya).

Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Ayat ini pun termasuk cemoohan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras terhadap mereka, karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada mereka disebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan sengaja dan menentang. Mereka menghukum qisas seorang Nadir karena membunuh seorang Qurazi. tetapi mereka tidak meng-qisas seorang Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat. Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya yang dinaskan pada kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan, lalu mereka menggantinya dengan hal-hal yang diperistilahkan di kalangan mereka sendiri, yaitu berupa hukum dera, pencorengan, dan dipermalukan. Karena itulah disebutkan dalam ayat sebelumnya melalui firman-Nya:

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturun­kan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah:44)

Karena mereka mengingkari hukum Allah dengan sengaja, menentang, dan telah direncanakan. Sedangkan dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:

maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al Maidah:45)

Karena mereka tidak membela orang yang teraniaya dari orang yang aniaya dalam hal yang diperintahkan oleh Allah agar ia berlaku adil dan menyamakan hak di antara semuanya. Tetapi ternyata mereka menentang perintah Allah ini dan berbuat zalim serta sebagian dari mereka berbuat sewenang-wenang atas sebagian yang lain.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ali ibnu Yazid (saudara Yunus ibnu Yazid), dari Az-Zuhri, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. membacanya dengan bacaan berikut:

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, sedangkan mata (dibalas) dengan mata. (Al Maidah:45)

Yakni dengan me-nasab-kan lafaz on-nafs dan me-rafa'-kan lafaz al- ain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak secara munfarid.

Banyak kalangan ulama ahli usul dan ahli ilmu fiqih yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita juga apabila diulangi kisahnya dan tidak di-mansukh, seperti pendapat yang terkenal dari jumhur ulama, juga seperti apa yang diriwayatkan oleh Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini, dari nas Imam Syafii serta mayoritas murid-muridnya sehubungan dengan ayat ini, mengingat hukum yang berlaku di kalangan kita sesuai dengan makna ayat ini dalam masalah tindak pidana jinayah menurut semua imam.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ayat ini berlaku untuk mereka (Ahli Kitab) dan untuk seluruh umat manusia pada umumnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Syekh Abu Zakaria An-Nawawi telah meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan masalah ini, salah satunya mengatakan bahwa syariat Nabi Ibrahim dapat dijadikan hujah, bukan syariat nabi lainnya. Kemudian Abu Zakaria An-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan tidak mengandung hujah bagi selainnya. Pendapat ini dinukil oleh Syekh Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari Imam Syafii dan sebagian besar muridnya, Ia menguatkan pendapat yang mengatakan sebagai hujah menurut mayoritas teman-teman kami (mazhab Syafii).

Imam Abu Nasr telah meriwayatkan dari As-Sabbag di dalam ki­tab Asy-Syamil adanya kesepakatan ulama yang menjadikan hujah ayat ini menurut apa yang ditunjukkan oleh maknanya.

Semua imam telah menyimpulkan bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita, karena berdasarkan keumuman makna ayat yang mulia ini. Demikian pula hal yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. menginstruksikan kepada Amr ibnu Hazm dalam suatu suratnya yang antara lain disebutkan padanya:

Bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita.

Orang-orang muslim itu sepadan (kehormatan) darahnya.

Demikian menurut pendapat jumhur ulama.

Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, maka ia tidak dihukum mati karenanya, terkecuali jika wali si terbunuh membayar separo diat kepada wali si pembunuh, karena diat seorang wanita adalah separo diat lelaki." Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Ahmad, menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya.

Di dalam hadis lain disebutkan:

Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ata, Usman Al-Basti, dan suatu riwayat dari Imam Ahmad, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, ia tidak boleh dibunuh karenanya, melainkan wajib membayar diat."

Imam Abu Hanifah rahimahullah berhujah melalui keumuman makna ayat ini, bahwa seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir zimmi, dan seorang yang merdeka dibunuh karena membunuh seorang budak.

Tetapi jumhur ulama berbeda pendapat dalam kedua masalah tersebut dengan Abu Hanifah. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.

Adapun sehubungan dengan masalah budak, maka banyak asar yang beraneka ragam dari ulama Salaf menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghukum qisas orang merdeka karena melukai budak, tidak pernah pula membunuh seorang merdeka karena membunuh seorang budak. Banyak hadis yang menerangkan tentang masalah ini, tetapi predikatnya tidak sahih. Imam Syafii telah meriwayatkan adanya kesepakatan yang bertentangan dengan pendapat mazhab Hanafi dalam masalah tersebut. Tetapi dengan adanya hal itu tidak memastikan batalnya pendapat mereka (mazhab Hanafi) kecuali berdasarkan dalil yang mentakhsis makna ayat yang mulia ini.

Apa yang dikatakan oleh Ibnus Sabbag, yaitu hujahnya dengan ayat ini, diperkuat oleh hadis yang menerangkan tentang masalah ini. seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad.

Disebutkan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' —bibi Anas— pernah merontokkan gigi seri seorang budak perempuan. Lalu kaum Ar-Rabi' meminta maaf kepada kaum si budak perempuan itu, tetapi mereka menolak. Kemudian kaum Ar-Rabi" datang kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hukum qisas." Lalu Saudara lelaki Ar-Rabi' —yaitu Anas ibnun Nadr— berkata memohon grasi, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri si Fulanah?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya, "Hai Anas, Kitabullah (telah menentukan) hukum qisas." Anas ibnun Nadr berkata, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus­mu dengan benar, kumohon janganlah engkau merontokkan gigi seri Fulanah." Pada akhirnya kaum si budak perempuan rela dan memaafkan serta membatalkan tuntutan hukum qisas-nya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah atas nama Allah (yakni memohon dengan menyebut nama-Nya), niscaya Allah mengabulkannya.

Hadis diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Sahihain.

Muhammad ibnu Abdullah ibnul Musanna Al-Ansari telah meriwa­yatkannya di dalam bagian yang terkenal dari kitab hadisnya melalui Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' binti Nadr—bibinya— pernah menampar muka seorang budak perempuan sehingga merontok­kan gigi serinya. Lalu keluarga Ar-Rabi’ menawarkan diat kepada keluarga si budak, tetapi mereka menolak. Kemudian keluarga Ar-Rabi’ mengajukan pembayaran diat dan mohon maaf. tetapi mereka menolak pula. Lalu keluarga si budak datang kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. memerintahkan kepada mereka untuk melakukan hukum qisas. Kemudian datanglah saudara lelaki Ar-Rabi', yaitu Anas ibnun Nadr, yang berkata memohon grasi kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri Ar-Rabi'? Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan hak, saya memohon janganlah engkau merontokkan gigi serinya." Maka Nabi Saw. bersabda: Hai Anas, ketentuan Kitabullah (Al-Qur'an) adalah hukum qisas. Tetapi akhirnya kaum si budak perempuan itu memaafkannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, niscaya Allah memperkenankannya

Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Ansari dengan lafaz yang semisal.

Imam Abu Daud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah. dari Abu Nadrah, dari Imran ibnu Husain, bahwa pernah ada seorang budak lelaki milik suatu kaum yang miskin memotong telinga seorang budak milik suatu kaum yang berharta. Maka keluarga budak yang melakukan tindak pidana itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah orang-orang miskin." Maka Rasulullah Saw. tidak menjatuhkan sanksi apa pun terhadapnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Mu'az ibnu Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah dengan lafaz yang sama.

Sanad hadis ini cukup kuat, dan semua perawinya adalah orang-orang yang siqah. Tetapi hadis ini masih penuh dengan teka-teki, kecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya pelaku tindak pidana ada­lah orang yang usianya belum mencapai balig, maka ia tidak terkena hukum qisas. Dan barangkali Nabi Saw. sendirilah yang menanggung kekurangan diat yang mampu dibayar oleh budak kaum yang miskin untuk diberikan kepada budak kaum yang hartawan, atau barangkali Nabi Saw. sendirilah yang meminta maaf kepada mereka sebagai ganti dari budak kaum yang miskin.

Firman Allah Swt.:

dan luka-luka (pun) ada qisas-nya. (Al Maidah:45)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang dibunuh karena membunuh orang lain, matanya dibutakan karena membutakan mata orang lain, hidungnya dipotong karena memotong hidung orang lain, dan giginya dirontokkan karena merontokkan gigi orang lain, luka-luka pun dibalas dengan luka-luka lagi sebagai hukum qisas.

Dalam ketentuan hukum qisas ini seluruh kaum muslim yang merdeka —baik yang laki-laki maupun yang wanita— disamakan haknya di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa ataupun sebawahnya. Para budak itu disamakan pula, baik yang laki-laki maupun yang wanita di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa atau sebawahnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.

Pelukaan adakalanya terjadi pada pergelangan. Sehubungan dengan kasus ini, maka diwajibkan adanya hukum qisas menurut ijma', seperti memotong tangan, kaki, telapak tangan atau telapak kaki, dan lain sebagainya yang bersendi.

Adapun jika pelukaan terjadi bukan pada pergelangan, melainkan pada tulang, maka menurut Imam Malik rahimahullah dalam kasus ini tetap diwajibkan adanya qisas, kecuali jika pelukaan terjadi pada tulang paha dan tulang lainnya yang serupa, karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan nyawa si terpidana.

Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya mengatakan, tidak wajib qisas dalam suatu kasus pun dari masalah pelukaan yang terjadi pada tulang, kecuali pada gigi.

Imam Syafii mengatakan, tidak wajib hukum qisas pada suatu kasus tindak pidana pelukaan apa pun yang terjadi pada tulang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab dan Ibnu Abbas. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Asy-Sya'bi, A]-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakhai', dan Umar ibnu Abdul Aziz. Pendapat ini didukung oleh Sufyan As-Sauri, Al-Lais ibnu Sa'd. dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad.

Imam Abu Hanifah rahimahullah berpedoman pada hadis Ar-Rabi' bintu Nadr untuk mazhabnya. Ia menyimpulkan dalil darinya, bahwa tidak ada hukum qisas dalam masalah tulang kecuali mengenai gigi.

Tetapi hadis Ar-Rabi' tidak mengandung hujah, mengingat teksnya berbunyi “mematahkan gigi seri seorang budak wanita”. Padahal gigi dapat tertanggalkan tanpa mengalami patah, maka dalam keadaan seperti ini hukum qisas wajib menurut kesepakatan ijma'. Mereka melengkapi dalilnya dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Duhsyum ibnu Qiran, dari Namran ibnu Jariyah, dari ayahnya, yaitu Jariyah ibnu Zafar Al-Hanafi.

Disebutkan bahwa pernah terjadi seorang lelaki memukul lelaki lain dengan pedang pada bagian lengannya, bukan pada pergelangannya,hingga lengannya patah. Kemudian lelaki yang terpukul mengadukan perkaranya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar menerima diat. Tetapi ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku menginginkan hukum qisas." Nabi Saw. bersabda, "Terimalah diat itu, semoga Allah memberkatimu padanya." Ternyata Rasulullah Saw. tidak memutuskan hukum qisas baginya.

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, hadis ini tidak mempunyai isnad selain dari isnad ini, dan Duhsyum ibnu Qiran Al-Ukali adalah seorang Badui yang dinilai daif, hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hujah. Namran ibnu Jariyah pun se­orang Badui yang berpredikat daif, tetapi ayahnya —yaitu Jariyah ibnu Zafar— disebutkan berpredikat sahabat.

Kemudian mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qisas karena kasus pelukaan sebelum luka orang yang dilukai mengering (sembuh), karena jika dia melakukan hukum qisas (pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

bahwa pernah terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang ditusuk itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Berikanlah hak qisas kepadaku." Nabi Saw. menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh." Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qisas" maka Nabi Saw. memberikan hak qisas kepadanya Sesudah itu ia datang lagi dan berkata, "Wahai Rasulullah,kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarangmu (cepat-cepat melakukan qisas), tetapi kamu mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan membatalkan (hak qisas) kepincanganmu. Kemudian Rasulullah Saw. melarang melakukan hukum qisas karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah sembuh dari lukanya.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.

Seandainya orang yang dilukai melakukan hukum qisas terhadap orang yang melukainya, kemudian ternyata orang yang melukainya meninggal dunia karena hukum qisas itu, maka tidak ada kewajiban apapun atas orang yang dilukainya. Demikianlah menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in serta lain-lainnya. Tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib diat yang diambil dari harta si korban yang melakukan hukum qisas.

Amir, Asy-Sya'bi, Ata,Tawus, Amr ibnu Dinar, Al-Haris Al-Ukali, Ibnu Abu Laila, Hammad Ibnu Abu Sulaiman, Az-Zuhri, dan As- Sauri mengatakan, wajib diat yang dibebankan ke atas pundak keluarga orang yang melakukan hukum qisas.

Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam ibnu Utaibah, dan Usman Al-Basti mengatakan bahwa digugurkan dari orang yang melakukan hukum qisas diat yang seharga dengan pelukaan yang dialaminya, sedangkan sisanya wajib dibayar dari harta benda miliknya.

Firman Allah Swt.:

Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)Nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al Maidah:45)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)Nya (Al Maidah:45), Bahwa barang siapa yang memaafkan pelaku tindak pidana dan melepas­kannya, maka perbuatan ini merupakan penebus dosa bagi pelaku tindak pidana dan merupakan pahala bagi si korban.

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang melepaskan hak qisas-nya, hal itu merupakan kifarat bagi si pelaku tindak pidana pelukaan dan merupakan pahala bagi yang dilukai di sisi Allah Swt. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah meriwayatkan hal yang semisal dari Khaisamah ibnu Abdur Rahman. Mujahid, Ibrahim dalam salah satu pendapatnya, Amir Asy-Sya'bi, dan Jabir Ibnu Zaid.

Jalur yang kedua diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zazan, telah menceritakan kepada kami Harami (yakni Ibnu Imarah), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Imarah (yakni Ibnu Hafsah), dari seorang lelaki, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Swt.: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al Maidah:45), Yakni bagi orang yang dilukai.

Telah diriwayatkan pula hal yang semisal, dari Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i dalam salah satu penda­patnya, dan Abu Ishaq Al-Hamdani. Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal yang semisal dari Amir Asy-Sya'bi dan Qatadah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qais (yakni Ibnu Muslim) yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Tariq ibnu Syihab menceritakan dari Al-Haisam ibnul Uryan An-Nakha'i yang telah mengatakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr berada di ru­mah Mu'awiyah mengenakan pakaian merah, mirip dengan mawali (bu­dak yang telah dimerdekakan). Lalu ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al Maidah:45), Abdullah ibnu Amr menjawab bahwa digugurkan (dihapuskan) darinya sebagian dari dosa-dosanya yang sesuai dengan pemberian maafnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Qais ibnu Muslim, telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Sufyan dan Syu'bah.

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim, ibnu Muhammad Al-Mujasyi'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hajjaj Al-Mahri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, telah menceritakan kepada kami Ma'la (yakni ibnu Hilal), bahwa ia pernah mendengar Aban ibnu Taglab menceritakan hadis berikut dari Al-Uryan ibnul Haisam ibnul Aswad, dari Abdullah ibnu Amr, dari Aban ibnu Taglab, dari Asy-Sya'bi, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al Maidah:45), Nabi Saw. bersabda: Dia adalah orang yang giginya dirontokkan, atau tangannya dipotong, atau sebagian dari tangannya dipotong, atau badannya dilukai lalu memaafkan hal tersebut, Maka dihapuskan darinya hal yang seimbang dengan dosa-dosanya. Jika yang dimaafkannya seperempat diat, maka yang dihapuskan seperempat dosa-dosanya: jika sepertiganya, maka yang dihapuskan sepertiga dosa-dosanya: dan jika seluruh diat. maka yang dihapuskan seluruh dosa-dosanya pula.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abus Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mendorong seorang lelaki Ansar hingga gigi serinya ada yang patah. Maka lelaki Ansar itu melaporkannya kepada Mu'awiyah. Ketika lelaki Ansar itu terus mendesak Mu'awiyah, maka Mu'awiyah berkata, "Itu urusanmu dan temanmu." Saat itu Abu Darda ada bersama Mu'awiyah, maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim dilukai pada salah satu dari anggota tubuhnya kemudian dia memaafkannya. melainkan Allah meninggikan satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya sebab lukanya itu. Lelaki Ansar itu bertanya, "Apakah kamu benar-benar mendengar dari Rasulullah Saw.?" Abu Darda menjawab, "Aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan disimpan di dalam hatiku." Maka lelaki Ansar itu memaafkan lelaki Quraisy yang melukainya. Kemudian Mu'awiyah berkata, "Berikanlah kepadanya sejumlah harta."

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da' laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Imran Ibnu Zabyan, dari Addi ibnu Sabit, bahwa di masa Mu'awiyah r.a. pernah terjadi seorang lelaki melukai mulut lelaki lain. Kemudian ia diberi diat, tetapi ia menolak dan bersikeras menginginkan qisas. Lalu ia diberi dua kali lipat diat, tetapi tetap menolak, dan diberi tiga kali diat pun tetap menolak. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. Menceritakan hadis bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : Barang siapa yang melepaskan hak (qisas) darahnya atau yang lebih kecil daripada itu, maka hal tersebut merupakan peng­hapus dosanya sejak hari ia dilahirkan sampai hari kematiannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu'man. telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya'bi, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah mencerita­kan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki dilukai pada tubuhnya sekali luka, lalu ia melepaskan hak qisas-nya, melainkan Allah menghapuskan darinya dosa yang setimpal dengan apa yang disedekahkannya.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui Ali ibnu Hujr, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Dan Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Khaddasy, dari Hasyim, kedua-duanya dari Al-Mugirah dengan lafaz yang sama.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan. dari Mujalid, dari Amir, dari Al-Muharrar ibnu Abu Hurairah, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang mengatakan: Barang siapa yang dilukai pada salah satu anggota badannya, lalu ia memaafkannya karena Allah, maka hal itu merupakan penghapus bagi dosa-dosanya.

Firman Allah Swt.:

Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al Maidah:45)

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan dari Ata dan Tawus. Keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekufuran yang masih di bawah kafir, kezaliman yang masih di bawah zalim, serta kefasikan yang masih di bawah fasik.

Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab

Di dalam Tawrât, Kami mewajibkan hukum kisas kepada orang-orang Yahudi agar Kami memelihara kelangsungan hidup manusia. Kami tetapkan bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung dan gigi dengan gigi. Luka-luka pun sedapat mungkin dikenakan kisas pula. Barangsiapa memaafkan dan menyedekahkan hak kisasnya terhadap pelaku kejahatan, maka sedekah itu merupakan kafarat yang dapat menghapus sebagian dosanya. Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum kisas dan lain-lainnya yang telah ditetapkan Allah, akan termasuk orang-orang yang zalim.