Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 228
Al-Baqarah Ayat ke-228 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ ( البقرة : ٢٢٨)
- wal-muṭalaqātu
- وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ
- And the women who are divorced
- dan wanita-wanita yang ditalak
- yatarabbaṣna
- يَتَرَبَّصْنَ
- shall wait
- hendaklah mereka menahan
- bi-anfusihinna
- بِأَنفُسِهِنَّ
- concerning themselves
- dengan diri mereka
- thalāthata
- ثَلَٰثَةَ
- (for) three
- tiga kali
- qurūin
- قُرُوٓءٍۚ
- monthly periods
- suci (dari haid)
- walā
- وَلَا
- And (it is) not
- dan tidak
- yaḥillu
- يَحِلُّ
- lawful
- halal/boleh
- lahunna
- لَهُنَّ
- for them
- bagi mereka
- an
- أَن
- that
- bahwa
- yaktum'na
- يَكْتُمْنَ
- they conceal
- mereka menyembunyikan
- mā
- مَا
- what
- apa
- khalaqa
- خَلَقَ
- (has been) created
- menjadikan
- l-lahu
- ٱللَّهُ
- (by) Allah
- Allah
- fī
- فِىٓ
- in
- didalam
- arḥāmihinna
- أَرْحَامِهِنَّ
- their wombs
- rahim mereka
- in
- إِن
- if
- jika
- kunna
- كُنَّ
- they
- mereka adalah
- yu'minna
- يُؤْمِنَّ
- believe
- mereka beriman
- bil-lahi
- بِٱللَّهِ
- in Allah
- kepada Allah
- wal-yawmi
- وَٱلْيَوْمِ
- and the Day
- dan hari
- l-ākhiri
- ٱلْءَاخِرِۚ
- [the] Last
- akhirat
- wabuʿūlatuhunna
- وَبُعُولَتُهُنَّ
- And their husbands
- dan suami-suami mereka
- aḥaqqu
- أَحَقُّ
- (have) better right
- lebih berhak
- biraddihinna
- بِرَدِّهِنَّ
- to take them back
- kembali/merujuki mereka
- fī
- فِى
- in
- pada
- dhālika
- ذَٰلِكَ
- that (period)
- demikian
- in
- إِنْ
- if
- jika
- arādū
- أَرَادُوٓا۟
- they wish
- mereka (suami) menghendaki
- iṣ'lāḥan
- إِصْلَٰحًاۚ
- (for) reconciliation
- ishlah/kebaikan
- walahunna
- وَلَهُنَّ
- And for them (wives)
- dan bagi mereka
- mith'lu
- مِثْلُ
- (is the) like
- seperti
- alladhī
- ٱلَّذِى
- (of) that which
- yang
- ʿalayhinna
- عَلَيْهِنَّ
- (is) on them
- atas mereka
- bil-maʿrūfi
- بِٱلْمَعْرُوفِۚ
- in a reasonable manner
- dengan cara yang baik
- walilrrijāli
- وَلِلرِّجَالِ
- and for the men
- dan para lelaki/suami
- ʿalayhinna
- عَلَيْهِنَّ
- over them (wives)
- atas mereka
- darajatun
- دَرَجَةٌۗ
- (is) a degree
- derajat/satu tingkat kelebihan
- wal-lahu
- وَٱللَّهُ
- And Allah
- dan Allah
- ʿazīzun
- عَزِيزٌ
- (is) All-Mighty
- Maha Perkasa
- ḥakīmun
- حَكِيمٌ
- All-Wise
- Maha Bijaksana
Transliterasi Latin:
Wal-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi`anfusihinna ṡalāṡata qurū`, wa lā yaḥillu lahunna ay yaktumna mā khalaqallāhu fī ar-ḥāmihinna ing kunna yu`minna billāhi wal-yaumil-ākhir, wa bu'ụlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika in arādū iṣlāḥā, wa lahunna miṡlullażī 'alaihinna bil-ma'rụfi wa lir-rijāli 'alaihinna darajah, wallāhu 'azīzun ḥakīm(QS. 2:228)
English Sahih:
Divorced women remain in waiting [i.e., do not remarry] for three periods, and it is not lawful for them to conceal what Allah has created in their wombs if they believe in Allah and the Last Day. And their husbands have more right to take them back in this [period] if they want reconciliation. And due to them [i.e., the wives] is similar to what is expected of them, according to what is reasonable. But the men [i.e., husbands] have a degree over them [in responsibility and authority]. And Allah is Exalted in Might and Wise. (QS. [2]Al-Baqarah verse 228)
Arti / Terjemahan:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah ayat 228)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Setelah menjelaskan masalah perempuan yang ditalak suaminya, berikut ini Allah menjelaskan idah mereka. Dan para istri yang diceraikan bila sudah pernah dicampuri, belum menopause, dan tidak sedang hamil, wajib menahan diri mereka menunggu selama tiga kali quru', yaitu tiga kali suci atau tiga kali haid. Tenggang waktu ini bertujuan selain untuk membuktikan kosong-tidaknya rahim dari janin, juga untuk memberi kesempatan kepada suami menimbang kembali keputusannya. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, baik berupa janin, haid, maupun suci yang dialaminya selama masa idah. Ketentuan di atas akan mereka laksanakan dengan baik jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka berhak menjatuhkan pilihannya untuk kembali kepada istri mereka dalam masa idah itu, jika mereka menghendaki perbaikan hubungan suami-istri yang sedang mengalami keretakan tersebut. Dan mereka, para perempuan, mempunyai hak seimbang yang mereka peroleh dari suaminya dengan kewajibannya yang harus mereka tunaikan menurut cara yang patut sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. yaitu derajat kepemimpinan karena tanggung jawab terhadap keluarganya. Allah Mahaperkasa atas orang-orang yang mendurhakai aturan-aturan yang telah ditetapkan, Mahabijaksana dalam menetapkan aturan dan syariat-Nya.
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Dalam ayat ini dijelaskan hukum talak sebagai penyempurnaan bagi hukum-hukum yang tersebut pada ayat-ayat sebelumnya. Apabila istri yang mempunyai masa haid, dicerai oleh suaminya, maka hendaklah dia bersabar menunggu tiga kali quru', baru boleh kawin dengan laki-laki yang lain.
Tiga kali quru' ialah tiga kali suci menurut pendapat jumhur ulama ). Ini dinamakan masa idah, yaitu masa harus menunggu. Selama dia masih dalam masa idah, ia tidak boleh menyembunyikan apa yang telah terjadi dalam kandungannya, apakah dia telah hamil ataukah dalam haid kembali. Setiap istri yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, dia harus jujur, mengakui terus terang apa yang telah terjadi dalam rahimnya.
Pada masa jahiliyah, di kalangan istri-istri yang tidak jujur, sering tidak mengatakan bahwa dirinya telah hamil. Setelah idah-nya habis dia kawin lagi dengan laki-laki lain, maka tidak lama sesudah kawin lahir anaknya, terjadilah perselisihan dan pertengkaran antara kedua suami istri. Apabila mantan suami tidak mengakui bahwa itu anaknya, maka teraniayalah bayi yang tidak bersalah itu, disebabkan ibunya tidak jujur ketika masih dalam masa idah. Ada pula terjadi pada masa itu, istri tidak mau berterus terang bahwa idah-nya sudah habis, dia mengatakan masih dalam haid, maksud dia berbohong itu, agar suaminya tetap memberi belanja kepadanya selama dia dalam idah, maka turunlah ayat ini melarang istri yang dicerai menyembunyikan apa yang terjadi dalam rahimnya. Selama perempuan yang ditalak itu masih dalam idah, suami boleh rujuk, itulah yang lebih baik jika niat rujuknya ingin membina kembali rumah tangganya yang baik. Cukuplah waktu idah itu bagi suami untuk berpikir apakah ia akan rujuk kembali (lebih-lebih sudah ada anak) atau akan bercerai.
Tetapi kalau rujuk itu bukan didorong oleh maksud yang baik, yakni hanya untuk membalas dendam, atau untuk menyusahkan dan menyakiti istri, maka perbuatan seperti ini dilarang Allah dan itu perbuatan zalim terhadap perempuan. Talak yang dijatuhkan kepada istri seperti ini, bernama talak raj'i yaitu talak yang masih boleh rujuk sebelum habis masa idah.
Kemudian firman Allah yang mengatakan bahwa perempuan itu mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki dan laki-laki mempunyai kelebihan satu tingkat dari istrinya, adalah menjadi dalil bahwa dalam amal kebajikan mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, lebih-lebih dalam lapangan ilmu pengetahuan, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya baik fisik maupun mental. Umpamanya seorang istri mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak dan memelihara kesehatannya, menjaga kebersihan dan rahasia rumah tangga dan lain-lain. Sedang suami sebagai kepala keluarga bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah yang halal guna membelanjai istri dan anak-anak. Dalam keluarga/rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridai Allah swt. Perbedaan yang ada adalah untuk saling melengkapi dan kerjasama, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dalam membina rumah tangga bahagia.
Meskipun nafkah keluarga merupakan kewajiban suami, bukan berarti istri tidak boleh membantu nafkah keluarga, tetapi bila istri mengeluarkan biaya/nafkah rumah tangga, itu hanya sebagai tabarru' bukan sebagai kewajiban. Bila suami jatuh miskin, karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau sakit yang menjadikan ia tidak bisa memberi nafkah, maka istri berkewajiban membantu biaya rumah tangga, tetapi bila suami sudah berkemampuan memberi nafkah, maka ia wajib mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh istri, kecuali istri tersebut rela tidak diganti, maka nafkah yang telah dikeluarkannya menjadi bantuan suka rela kepada rumah tangga.
Dalam masyarakat, perempuan boleh berlomba dengan laki-laki untuk mencari kemajuan dan berbuat amal kebajikan. Kalau ada orang menuduh, bahwa Islam tidak memberi kemerdekaan asasi kepada perempuan, itu adalah tuduhan yang tidak benar. Islamlah yang mula-mula mengangkat derajat perempuan setinggi-tingginya, sebelum dunia yang maju sekarang ini sanggup berbuat demikian. Sudah sejak 14 abad yang lalu Islam memberikan hak dan kewajiban kepada perempuan dan laki-laki, sedangkan dunia lain pada waktu itu masih dalam gelap gulita. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan rumah tangga dengan memberikan biaya rumah tangga yang diperoleh dengan jalan yang halal. Demikian Allah mengatur hubungan suami istri dengan cara-cara yang harmonis untuk mencapai kebahagiaan hidup dalam berumah tangga.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu) atau menahan (diri mereka) dari kawin (selama tiga kali quru') yang dihitung dari mulainya dijatuhkan talak. Dan quru' adalah jamak dari qar-un dengan mematahkan qaf, mengenai hal ini ada dua pendapat, ada yang mengatakannya suci dan ada pula yang mengatakannya haid. Ini mengenai wanita-wanita yang telah dicampuri. Adapun mengenai yang belum dicampuri, maka tidak ada idahnya berdasarkan firman Allah, "Maka mereka itu tidak mempunyai idah bagimu. Juga bukan lagi wanita-wanita yang terhenti haidnya atau anak-anak yang masih di bawah umur, karena bagi mereka idahnya selama tiga bulan. Mengenai wanita-wanita hamil, maka idahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya sebagaimana tercantum dalam surah At-Thalaq, sedangkan wanita-wanita budak, sebagaimana menurut hadis, idah mereka adalah dua kali quru' (Dan mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah pada rahim-rahim mereka) berupa anak atau darah haid, (jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suami mereka) (lebih berhak untuk merujuk mereka) sekalipun mereka tidak mau dirujuk (di saat demikian), artinya di saat menunggu itu (jika mereka menghendaki perbaikan) sesama mereka dan bukan untuk menyusahkan istri. Ini merupakan dorongan bagi orang yang berniat mengadakan perbaikan dan bukan merupakan syarat diperbolehkannya rujuk. Ini mengenai talak raj`i dan memang tidak ada orang yang lebih utama daripada suami, karena sewaktu masih dalam idah, tidak ada hak bagi orang lain untuk mengawini istrinya. (Dan para wanita mempunyai) dari para suaminya (hak-hak yang seimbang) dengan hak-hak para suami (yang dibebankan kepada mereka) (secara makruf) menurut syariat, baik dalam pergaulan sehari-hari, meninggalkan hal-hal yang akan mencelakakan istri dan lain sebagainya. (Akan tetapi pihak suami mempunyai satu tingkat kelebihan) tentang hak, misalnya tentang keharusan ditaati disebabkan maskawin dan belanja yang mereka keluarkan dari kantong mereka. (Dan Allah Maha Tangguh) dalam kerajaan-Nya, (lagi Maha Bijaksana) dalam rencana-Nya terhadap hak-hak-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru', hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali quru', kemudian kawin jika menghendaki.
Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman makna ayat ini, yaitu berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali quru', mengingat segala sesuatunya adalah separo dari wanita yang merdeka, sedangkan quru' tidak dapat dipecahkan, maka digenapkanlah baginya dua kali quru'. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan idahnya adalah dua kali haid.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali. Al-Hafiz Ad-Daruqutni mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang benar ialah hadis ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu. Imam Daruqutni mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh Salim dan Nafi', dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf, bukan marfu'). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.
Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama dengan wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al Baqarah:228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka dan budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya daif.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah menceritakan hadis berikut: Ia pernah diceraikan di masa Rasulullah Saw., sedangkan saat itu masih belum ada idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya-ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur) ini.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah, mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: tiga kali quru'. (Al Baqarah:228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru" Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci."
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami."
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:
Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)
Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang d-perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga.
Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah.
Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid.
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya.
Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'."
Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah Saw. mengatakan bahwa quru' artinya haid."
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda kepadanya:
Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).
Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci, dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.
Firman Allah Swt.:
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.
Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Firman Allah Swt.:
...jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri, dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.
Firman Allah Swt.:
Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.
Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj'i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali.
Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak bain (talak raj'i).
Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.
Firman Allah Swt.:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.
Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'nya:
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan dan sandangnya secara makruf.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?" Rasulullah Saw. menjawab:
Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah.
Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah Swt. telah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al Baqarah:228)
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Firman Allah Swt.:
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.
Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An Nisaa:34)
Adapun firman Allah Swt.:
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.
Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab
Wanita-wanita yang dijatuhi talak, diharuskan menunggu, tidak bersegera kawin lagi, selama tiga kali haid,(1) agar diketahui betul rahimnya kosong dari janin(2) dan kesempatan untuk rujuk tetap terbuka. Mereka tidak boleh menyembunyikan isi rahim mereka yang berupa janin atau darah haid. Itulah sifat wanita-wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Suami-suami mereka berhak untuk kembali mengawini mereka selama masa menunggu. Ketika menggunakan hak tersebut, para suami hendaknya bertujuan mengadakan perbaikan, bukan sebaliknya, menimbulkan kemudaratan. Para istri mempunyai hak- hak di samping kewajiban sepanjang tidak dilarang agama. Para suami mempunyai kewajiban lebih terhadap istri-istri mereka berupa memelihara dan menjaga keutuhan serta kelangsungan kehidupan rumah tangga dan urusan anak-anak. (3) Allah Swt. menggungguli hamba-hamba-Nya, menggariskan ketentuan untuk mereka yang sesuai dengan kebijakan-Nya. (1) Ada dua catatan. Pertama, kata "qurû'" yang disebut dalam ayat ini ditafsirkan 'haid'. Maka, atas dasar ini, masa idah ('iddah) wanita yang ditalak adalah tiga kali haid. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama (jumhûr). Imam Syâfi'iy menafsirkan kata "qurû'" sebagai 'masa suci di antara dua haid'. Atas dasar itu, menurut Syâfi'iy, masa idah adalah selama tiga kali bersuci. Kedua, jenis dan hukum tentang idah lainnya akan dijelaskan kemudian di tempat lain. (2) Masa idah disyariatkan untuk dua tujuan. Pertama, untuk mengetahui bahwa rahim itu kosong dari janin. Dan itu dapat diketahui dengan jelas setelah tiga kali haid. Sebab, biasanya, wanita hamil tidak mengalami haid. Kalaupun mengalami, paling banyak hanya satu atau dua kali saja. Sebab, pada saat itu janin telah tumbuh hidup mengisi rahim, sehingga darah haid tidak lagi bisa keluar. Itulah ketentuan Allah dalam ciptaan-Nya. Sebelumnya, orang-orang Arab, bahkan Rasulullah sendiri yang ummiy--tidak bisa baca tulis--tidak mengetahuinya. Kemudian Allah menurunkan al-Qur'ân dan mengajarkannya dan umatnya. Kedua, idah juga disyariatkan agar suami yang menjatuhkan talak mempunyai kesempatan untuk merujuk istrinya. Sebab, kadang-kadang seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan marah dan emosi. Kalau keadaan sudah normal kembali, biasanya dia menyesal. Saat itulah kasih sayang Allah terasa sangat luas. Begitu juga syariat-Nya yang terasa bijak. Cukup dengan mengatakan "râja'tuki" ('aku rujuk kamu'), istrinya sudah bisa kembali kepadanya. Tetapi, talak sudah terhitung jatuh satu. (3) Allah memberikan kepada istri hak yang sama seperti kewajibannya. Kepada suami, Allah memberikan kelebihan tanggung jawab menjaga dan memelihara keutuhan rumah tangga. Maka ia harus berlaku adil. Persamaan hak dan kewajiban suami-istri bagi wanita adalah sebuah prinsip yang belum pernah ada pada bangsa-bangsa sebelum Islam. Pada masa Romawi, istri hanyalah seorang budak di rumah suaminya, hanya mempunyai kewajiban saja tanpa memiliki hak sedikit pun. Begitu juga di Persia. Islam paling dahulu memperkenalkan prinsip keadilan tersebut.