Skip to content

Al-Qur'an Surat Hud Ayat 10

Hud Ayat ke-10 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia

وَلَىِٕنْ اَذَقْنٰهُ نَعْمَاۤءَ بَعْدَ ضَرَّاۤءَ مَسَّتْهُ لَيَقُوْلَنَّ ذَهَبَ السَّيِّاٰتُ عَنِّيْ ۗاِنَّهٗ لَفَرِحٌ فَخُوْرٌۙ ( هود : ١٠)

wala-in
وَلَئِنْ
But if
dan jika
adhaqnāhu
أَذَقْنَٰهُ
We give him a taste
Kami rasakan kepadanya
naʿmāa
نَعْمَآءَ
(of) favor
kebahagiaan
baʿda
بَعْدَ
after
sesudah
ḍarrāa
ضَرَّآءَ
hardship
bencana
massathu
مَسَّتْهُ
(has) touched him
menyentuh/menimpa
layaqūlanna
لَيَقُولَنَّ
surely he will say
niscaya dia akan berkata
dhahaba
ذَهَبَ
"Have gone
telang hilang
l-sayiātu
ٱلسَّيِّـَٔاتُ
the evils
bencana-bencana
ʿannī
عَنِّىٓۚ
from me
daripadaku
innahu
إِنَّهُۥ
Indeed he
sesungguhnya dia
lafariḥun
لَفَرِحٌ
(is) exultant
sangat gembira
fakhūrun
فَخُورٌ
(and) boastful
bangga

Transliterasi Latin:

Wa la`in ażaqnāhu na'mā`a ba'da ḍarrā`a massat-hu layaqụlanna żahabas-sayyi`ātu 'annī, innahụ lafariḥun fakhụr (QS. 11:10)

English Sahih:

But if We give him a taste of favor after hardship has touched him, he will surely say, "Bad times have left me." Indeed, he is exultant and boastful – (QS. [11]Hud verse 10)

Arti / Terjemahan:

Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, (QS. Hud ayat 10)

Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI

Dan jika Kami berikan kebahagiaan berupa keluasan rezeki, kehidupan yang menyenangkan, dan kesehatan kepadanya setelah ditimpa bencana berupa malapetaka, kemiskinan, kesulitan hidup, atau sakit yang menimpanya, niscaya dia akan berkata dengan nada sombong, "Telah hilang bencana itu dariku." Sesungguhnya dia merasa sangat gembira dan bangga, karena menganggap bahwa dirinya telah selamat dari bencana itu. Padahal Allahlah yang telah menyelamatkan mereka, dan mereka tidak menyadari hal itu.

Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI

Jika Allah menghindarkan manusia dari kemudaratan yang telah menimpa dirinya, dan menggantinya dengan beberapa kenikmatan seperti sembuh dari sakit, bertambah tenaga dan kekuatan, terlepas dari kesulitan, selamat dari ketakutan, maka ia berkata, "Telah hilang dariku musibah dan penderitaan yang tidak akan kembali lagi."
Musibah dan penderitaan itu tidak lain hanya seperti awan di musim kemarau yang akan segera hilang. Mereka mengucapkan kata-kata yang demikian itu dengan penuh kesombongan dan kebanggaan. Mereka merasa lebih berbahagia dari semua orang yang berada di sekitarnya. Pada dasarnya mereka tidak menerima nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur bahkan sebaliknya mereka bersikap sombong dan takabur.

Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Dan jika kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana) kemiskinan dan kesengsaraan (yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, "Telah hilang keburukan-keburukan itu) yaitu bencana-bencana tersebut (dariku.") akan tetapi ia tidak mempunyai perasaan bahwa kebahagiaan itu bakal lenyap darinya dan pula ia tidak mensyukurinya (Sesungguhnya dia sangat gembira) meluap (lagi bangga) terhadap manusia atas apa yang diberikan kepadanya.

Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Demikian pula keadaannya jika ia mendapat nikmat sesudah sengsara, sebagaimana disebutkan oleh Allah Swt.:

...niscaya dia akan berkata, "Telah hilang bencana-bencana itu dariku."

Yaitu tidak akan ada kesengsaraan dan bencana lagi yang menimpaku sesudah ini.

...sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.

Maksudnya, merasa sangat gembira dengan nikmat yang ada di tangannya, lalu ia bersikap angkuh dan sombong terhadap orang lain.

Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab

Tetapi kalau Kami menganugerahkan kepadanya suatu nikmat setelah sebelumnya mengalami suatu kesusahan, ia malah berkata, "Lenyaplah sudah apa yang menyusahkanku, dan pasti tak akan kembali lagi." Hal itu, kemudian, membuatnya bergembira dengan meluap-luap dan terlalu membanggakan diri di hadapan orang lain. Akhirnya, ia pun lupa untuk bersyukur kepada Allah. Demikianlah halnya kebanyakan manusia: selalu terombang-ambing antara keputusasaan dan sifat membanggakan diri.