Skip to content

Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 89

Al-Ma'idah Ayat ke-89 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ( الماۤئدة : ٨٩)

لَا
Not
tidak
yuākhidhukumu
يُؤَاخِذُكُمُ
will call you to account
menghukum kamu
l-lahu
ٱللَّهُ
Allah
Allah
bil-laghwi
بِٱللَّغْوِ
for the thoughtless utterances
karena main-main
فِىٓ
in
di dalam
aymānikum
أَيْمَٰنِكُمْ
your oaths
sumpahmu
walākin
وَلَٰكِن
but
tetapi
yuākhidhukum
يُؤَاخِذُكُم
He will call you to account
Dia menghukum kamu
bimā
بِمَا
for what
dengan sebab
ʿaqqadttumu
عَقَّدتُّمُ
you contracted
kamu sengaja
l-aymāna
ٱلْأَيْمَٰنَۖ
(of) the oath
sumpah-sumpah itu
fakaffāratuhu
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ
So its expiation
maka dendanya
iṭ'ʿāmu
إِطْعَامُ
(is) feeding
memberi makan
ʿasharati
عَشَرَةِ
(of) ten
sepuluh
masākīna
مَسَٰكِينَ
needy people
orang-orang miskin
min
مِنْ
of
dari
awsaṭi
أَوْسَطِ
average
pertengahan/biasa
مَا
(of) what
apa
tuṭ'ʿimūna
تُطْعِمُونَ
you feed
kamu berikan makan
ahlīkum
أَهْلِيكُمْ
your families
keluargamu
aw
أَوْ
or
atau
kis'watuhum
كِسْوَتُهُمْ
clothing them
memberi mereka pakaian
aw
أَوْ
or
atau
taḥrīru
تَحْرِيرُ
freeing
memerdekakan
raqabatin
رَقَبَةٍۖ
a slave
seorang budak
faman
فَمَن
But whoever
maka barang siapa
lam
لَّمْ
(does) not
tidak
yajid
يَجِدْ
find
mendapatkan
faṣiyāmu
فَصِيَامُ
(that), then fasting
maka berpuasalah
thalāthati
ثَلَٰثَةِ
(for) three
tiga
ayyāmin
أَيَّامٍۚ
days
hari
dhālika
ذَٰلِكَ
That
demikian
kaffāratu
كَفَّٰرَةُ
(is the) expiation
denda
aymānikum
أَيْمَٰنِكُمْ
(of) your oaths
sumpah-sumpahmu
idhā
إِذَا
when
jika/bila
ḥalaftum
حَلَفْتُمْۚ
you have sworn
kamu bersumpah
wa-iḥ'faẓū
وَٱحْفَظُوٓا۟
And guard
dan jagalah
aymānakum
أَيْمَٰنَكُمْۚ
your oaths
sumpah-sumpahmu
kadhālika
كَذَٰلِكَ
Thus
seperti demikianlah
yubayyinu
يُبَيِّنُ
makes clear
menerangkan
l-lahu
ٱللَّهُ
Allah
Allah
lakum
لَكُمْ
to you
bagi kalian
āyātihi
ءَايَٰتِهِۦ
His Verses
ayat-ayatNya
laʿallakum
لَعَلَّكُمْ
so that you may
agar kalian
tashkurūna
تَشْكُرُونَ
(be) grateful
kalian bersyukur

Transliterasi Latin:

Lā yu`ākhiżukumullāhu bil-lagwi fī aimānikum wa lākiy yu`ākhiżukum bimā 'aqqattumul-aimān, fa kaffāratuhū iṭ'āmu 'asyarati masākīna min ausaṭi mā tuṭ'imụna ahlīkum au kiswatuhum au taḥrīru raqabah, fa mal lam yajid fa ṣiyāmu ṡalāṡati ayyām, żālika kaffāratu aimānikum iżā ḥalaftum, waḥfaẓū aimānakum, każālika yubayyinullāhu lakum āyātihī la'allakum tasykurụn (QS. 5:89)

English Sahih:

Allah will not impose blame upon you for what is meaningless in your oaths, but He will impose blame upon you for [breaking] what you intended of oaths. So its expiation is the feeding of ten needy people from the average of that which you feed your [own] families or clothing them or the freeing of a slave. But whoever cannot find [or afford it] – then a fast of three days [is required]. That is the expiation for oaths when you have sworn. But guard your oaths. Thus does Allah make clear to you His verses [i.e., revealed law] that you may be grateful. (QS. [5]Al-Ma'idah verse 89)

Arti / Terjemahan:

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al-Ma'idah ayat 89)

Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI

Ayat ini menjelaskan macam-macam kafarat atau denda bagi siapa saja yang melanggar sumpah yang diucapkan secara sadar dan sengaja. Namun demikian, kafarat ini tidak berlaku bagi sumpah yang tidak disengaja. Allah tidak akan menghukum kamu, wahai orang beriman, disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja untuk diucapkan, seperti perkataan, "Tidak, demi Allah," atau "Benar, demi Allah," tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Jika kamu dalam mengucapkan sumpah itu benar benar bermaksud untuk bersumpah, maka kafaratnya, denda pelanggaran sumpah supaya dosa sumpahmu diampuni oleh Allah, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, baik yang kamu kenal maupun tidak, yaitu dari jenis makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, baik dari segi jumlah maupun jenis makanannya, atau memberi mereka pakaian baru maupun layak pakai, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa tidak mampu melakukannya, salah satu dari tiga pilihan kafarat tersebut, maka kafaratnya berpuasalah tiga hari dengan ikhlas sambil berharap agar Allah mengampuni dosa sumpah yang pernah diucapkannya. Itulah ketentuan Allah tentang kafarat sumpah-sumpahmu, apabila kamu benar-benar bersumpah dengan sengaja. Dan jagalah sumpahmu supaya kamu tidak mudah bersumpah, apalagi bersumpah palsu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukumNya tentang sumpah kepadamu agar kamu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kamu.

Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah tidak akan menimpakan hukuman kepada seseorang yang melanggar sumpah yang telah diucapkannya tidak dengan sungguh-sungguh atau tidak didahului oleh niat bersumpah. Akan tetapi, bila seseorang bersumpah dengan sepenuh hati dan niat yang sungguh-sungguh, kemudian ia melanggar sumpah tersebut, maka ia dikenakan kafarat (denda), yaitu salah satu dari hal-hal berikut ini:
a) Memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu kali makan. (Imam Abu Hanifah membolehkan memberi makan satu orang miskin saja, tetapi dalam masa sepuluh hari). Makanan tersebut haruslah sama mutunya dengan makanan yang dimakan sehari-hari oleh pembayar kafarat dan keluarganya.
b) Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, yang sama mutunya dengan pakaian yang dipakainya sehari-hari.
c) Memerdekakan seorang hamba sahaya yang diperoleh dengan jalan membeli atau menawannya dalam peperangan. Di sini tidak diisyaratkan agar hamba-hamba sahaya itu harus beriman. Oleh karena itu, boleh memerdekakan hamba sahaya yang kafir sekalipun sebagai kafarat pelanggaran sumpah. (Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Syafi'i, Malik dan Ahmad mensyaratkan agar hamba itu yang sudah beriman).
d) Berpuasa selama tiga hari. Ini berlaku bagi pelanggar sumpah yang tidak mampu membayar kafarat sumpahnya dengan salah satu dari tiga macam kafarat yang disebutkan terdahulu. Apabila ia belum mampu untuk berpuasa karena ia sedang sakit, maka harus dilaksanakan setelah ia sembuh dan mampu berpuasa. Jika ternyata penyakitnya tidak sembuh, dan kemudian ia meninggal dunia sebelum sempat berpuasa untuk membayar kafarat itu, maka diharapkan ampunan Allah untuknya, bila benar-benar telah mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya walaupun belum tercapai.

Dengan demikian jelas bahwa seseorang yang melanggar sumpah yang memang diniatkan secara sungguh-sungguh, maka ia harus membayar kafarat, salah satu dari tiga macam kafarat itu. Apabila ia tidak mampu, ia boleh membayarnya dengan kafarat yang keempat yaitu berpuasa tiga hari berturut-turut. Mengenai hal ini Rasulullah telah menjelaskan dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu 'Abbas, ia berkata:

Ketika ayat kafarat ini diturunkan, Hudzaifah bertanya kepada Rasulullah, "Bolehkah kami memilih?" Maka Rasulullah menjawab, "Engkau boleh memilih, jika engkau mau, engkau boleh memerdekakan seorang hamba sahaya; dan jika engkau mau, engkau boleh memberi makan (sepuluh orang miskin). Barang siapa yang tidak mampu, maka ia harus berpuasa tiga hari berturut-turut." (Riwayat Ibnu Mardawaih)

Jika bersumpah tidak akan berbuat sesuatu yang dihalalkan untuknya, sehingga dengan demikian berarti ia tidak mengharapkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah, maka ia diwajibkan melanggar sumpahnya, dan diwajibkan pula untuk membayar kafaratnya. Demikian pula sebaliknya.
Setelah Allah menjelaskan macam-macam kafarat yang tersebut di atas yang harus ditunaikan oleh orang yang melanggar sumpahnya itu, selanjutnya Allah memperingatkan orang-orang mukmin agar mereka memelihara sumpah mereka. Artinya: seseorang tidak boleh mempermainkan sumpah. Sumpah digunakan hanya dalam masalah-masalah yang memang memerlukan sumpah sebagai penguat atau penegasan.
Apabila sumpah sudah diucapkan dengan niat sungguh-sungguh, maka isi sumpah itu harus ditepati, kecuali bila sumpah itu menyalahi peraturan agama, misalnya: untuk mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah dan Rasul-Nya. Hanya dalam keadaan semacam itu sajalah sumpah harus dilanggar, tetapi harus ditebus dengan kafarat.
Pada akhir ayat ini Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya yang berisi hukum-hukum agama kepada mereka yang mau bersyukur kepada-Nya atas segala rahmat-Nya, keadilan-Nya, serta kasih sayang-Nya. Diharapkan, syukur yang dilakukan dengan cara-cara yang diajarkannya akan menyebabkan bertambahnya rahmat tersebut kepada mereka.

Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Allah tidak menghukum kamu disebabkan senda-gurau) yang terjadi (di dalam sumpah-sumpahmu) yaitu sumpah yang dilakukan secara tidak sengaja hanya karena lisan terlanjur mengatakan, seperti ucapan seseorang, "Tidak demi Allah," dan, "Ya demi Allah." (tetapi Dia menghukum kamu disebabkan apa yang kamu sengaja) dengan dibaca ringan `aqadtum dan dibaca tasydid `aqqadtum, menurut suatu riwayat dibaca `aaqadtum (dalam sumpah-sumpahmu) mengenai hal itu, yaitu seumpamanya kamu bersumpah dengan sengaja (maka kafaratnya) artinya kafarat sumpah tersebut apabila kamu melanggarnya (memberi makan sepuluh orang miskin) yang untuk setiap orang sebanyak satu mud (yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan) dari makanan tersebut (kepada keluargamu) artinya kualitas makanan yang paling pertengahan dan yang paling biasa dipakai bukannya kualitas makanan yang paling tinggi dan juga bukan yang paling rendah (atau memberi kepada mereka pakaian) yaitu sesuatu yang biasa dijadikan sebagai pakaian seperti baju gamis, serban dan kain. Imam Syafii berpendapat jika memberikannya secara sekaligus kepada seorang miskin saja dianggap kurang sempurna atau tidak memenuhi persyaratan (atau membebaskan) memerdekakan (seorang budak) yang beriman seperti dalam masalah kafarat membunuh dan kafarat zihar atas dasar memberlakukan yang mutlak dengan hukum yang muqayyad (dan siapa yang tidak menemukan) salah satu di antara yang telah disebutkan (maka berpuasa selama tiga hari) sebagai ganti kafaratnya; menurut pendapat yang terkuat dalam masalah ini tidak disyaratkan puasa secara berturut-turut, pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii. (Yang demikian itu) yang telah disebutkan (adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah) kemudian kamu langgar. (Dan jagalah sumpahmu) jangan sampai kamu melanggarnya selagi sumpah itu bukanlah perbuatan kebaikan atau mendamaikan orang-orang sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah Al-Baqarah. (Demikianlah) artinya seperti apa yang telah Allah jelaskan tentang beberapa hal yang telah lalu penuturannya (Allah menjelaskan kepada kamu tentang ayat-ayat-Nya agar kamu bersyukur) kepada-Nya atas hal itu.

Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan masalah bermain-main dalam sumpah, yaitu dalam surat Al-Baqarah, sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam pembahasan ini. Pada garis besarnya sumpah yang main-main ialah perkataan seorang lelaki yang menyangkut makna sumpah tanpa disengaja, misalnya, "Tidak, demi Allah.' dan "Benar, demi Allah." Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii. Menurut pendapat lain, bermain-main dalam sumpah ialah sumpah seseorang yang dilakukan dalam omongan yang mengandung seloroh (gurauan), menurut pendapat yang lain dalam masalah maksiat. Menurut pendapat yang lain lagi atas dasar dugaan kuat, pendapat ini dikatakan oleh Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Menurut pendapat yang lainnya adalah sumpah yang dilakukan dalam keadaan marah. Sedangkan menurut pendapat yang lainnya atas dasar lupa. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi yaitu sumpah yang menyangkut masalah meninggalkan makan, minum dan pakaian, serta lain-lainnya yang semisal, dengan berdalilkan firman Allah Swt.:

Janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian.

Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa sumpah yang main-main ialah yang diutarakan tanpa sengaja, dengan berdalilkan firman Allah Swt. yang mengatakan:

Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.

Yakni sumpah yang kalian tekadkan dan sengaja kalian lakukan.

Maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin.

Yakni orang-orang yang membutuhkan pertolongan dari kalangan orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi penghidupannya.

Firman Allah Swt.:

Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.

Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dari standar jenis makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. Menurut Ata Al-Khurrasani, makna yang dimaksud ialah makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah roti dan air susu, atau roti dan minyak samin.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat (bacaan), telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Sulaiman (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sebagian orang ada yang memberi nafkah keluarganya dengan makanan pokok yang berkualitas rendah, ada pula yang memberi makan keluarganya dengan makanan pokok yang berkualitas tinggi. Maka Allah Swt. berfirman: Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al Maidah:89) Yakni berupa roti dan minyak.

Abu Sa'id Al-Asyaj mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al Maidah:89) Yakni dari jenis pertengahan antara jenis yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang miskin dan oleh orang-orang kaya mereka.

Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Khalaf Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib (yakni Ibnu Syabur), dan telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abdur Rahman At-Tamimi, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Asim Al-Ahwal, dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama Abdur Rahman At-Tamimi, dari Ibnu Umar r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al Maidah:89) Yakni berupa roti dan daging, atau roti dan samin, atau roti dan susu, atau roti dan minyak, atau roti dan cuka.

Dan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Asim, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al Maidah:89) Yakni roti dan samin atau roti dan susu, atau roti dan minyak atau roti dan kurma. Makanan yang paling utama kalian berikan kepada keluarga kalian ialah roti dan daging.

Asar yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Hannad dan Ibnu Waki’ keduanya dari Abu Mu'awiyah. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ubaidah dan Al-Aswad, Syuraih Al-Qadi, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan Ad-Dahhak serta Abu Razin, semuanya mengatakan hal yang semisal.

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al Maidah:89) Bahwa makna yang dimaksud ialah menyangkut sedikit dan banyaknya makanan tersebut. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai standar jumlah yang biasa diberikan kepada keluarga.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Husain Al-Harisi, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. sehubung­an dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al Maidah:89) Yakni makanan yang biasa ia berikan untuk makan siang dan makan malam keluarganya.

Al-Hasan dan Muhammad ibnu Sirin mengatakan, orang yang bersangkutan cukup memberi makan sepuluh orang miskin sekali makan, berupa roti dan daging. Al-Hasan menambahkan bahwa jika ia tidak menemukan daging, maka cukup dengan roti, minyak samin, dan susu, jika ia tidak menemukannya, maka cukup dengan roti, minyak, dan cuka hingga mereka merasa kenyang.

Ulama yang lain mengatakan, orang yang bersangkutan memberi makan setiap orang dari sepuluh orang itu setengah sa jewawut atau buah kurma atau lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh Umar, Siti Aisyah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Maimun IbnuMahran, Abu Malik, Ad-Dahhak, Al-Hakam, Mak-hul, Abu Qilabah, dan Muqatil ibnu Hayyan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jumlah makanan yang diberikan kepada tiap orang ialah setengah sa jewawut atau satu sa makanan jenis lainnya.

Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hasan As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Hasan ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Abdullah ibnut Tufail ibnu Sakhbirah (anak lelaki saudara seibu Siti Aisyah), telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ya'la, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah membayar kifarat dengan satu sa' buah kurma, dan beliau Saw. memerintahkan kepada orang-orang supaya melakukan hal yang sama. Barang siapa yang tidak menemukan buah kurma, maka dengan setengah sa' jewawut.

Ibnu Majah meriwayatkannya dari Al-Abbas ibnu Yazid, dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Bakka, dari Umar ibnu Abdullah ibnu Ya'la As-Saqafi, dari Al-Minhal ibnu Amr dengan sanad yang sama. Tetapi hadis ini tidak sahih, mengingat keadaan Umar ibnu Abdullah, karena dia telah disepakati akan kedaifannya. Menurut mereka, Umar ibnu Abdullah ini sering minum khamr. Menurut Imam Daruqutni, Umar ibnu Abdullah hadisnya tidak terpakai.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Daud (yakni Ibnu Abu Hindun),dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah satu mud makanan berupa jewawut—yakni bagi tiap-tiap orang miskin— disertai lauk pauknya.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Zaid ibnu Sabit, Sa'id ibnul Musayyab, Ata, Ikrimah, Abusy Sya'sa, Al-Qasim, Salim, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Yasar, Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, dan Az-Zuhri hal yang semisal. Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang diwajibkan dalam kifarat sumpah ialah satu mud berdasarkan ukuran mud yang dipakai oleh Nabi Saw. untuk tiap orang miskin, tanpa memakai lauk pauk. Imam Syafii mengatakan demikian dengan berdalilkan perintah Nabi Saw. kepada seseorang yang menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadan. Nabi Saw. memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin dari tempat penyimpanan makanan yang berisikan lima belas sa untuk tiap-tiap orang dari mereka kebagian satu mud.

Di dalam hadis lain hal itu disebutkan dengan jelas. Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali Ibnul Hasan Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-Siraj, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Zurarah Al-Kufi, dari Abdullah ibnu Umar Al-Umari, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. menetapkan standar takaran kifarat sumpah dengan memakai takaran mud pertama, makanan yang ditakarnya berupa gandum.

Sanad hadis ini daif karena keadaan An-Nadr ibnu Zurarah ibnu Abdul Akram Az-Zuhali Al-Kufi yang tinggal di Balakh. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah orang yang tidak dikenal, padahal bukan hanya seorang yang telah mengambil riwayat hadis darinya. Tetapi Ibnu Hibban menyebutnya di antara orang-orang yang siqah. Ibnu Hibban mengatakan, telah mengambil riwayat darinya Qutaibah ibnu Sa'id banyak hal yang benar. Kemudian gurunya yang bernama Al-Umari orangnya daif pula.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan bahwa hal yang diwajibkan ialah satu mud jewawut atau dua mud jenis makanan lainnya.

Firman Allah Swt:

...atau memberi pakaian kepada mereka.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Seandainya orang yang bersangkutan menyerahkan kepada tiap-tiap orang dari sepuluh orang miskin itu sesuatu yang dinamakan pakaian, baik berupa gamis, celana, kain sarung, kain sorban, ataupun kerudung, maka hal itu sudah cukup baginya."

Tetapi murid-murid Imam Syafii berbeda pendapat mengenai masalah peci, apakah peci dianggap mencukupi atau tidak, ada dua pendapat mengenainya di kalangan mereka. Di antara mereka ada yang membolehkannya, karena berdasarkan riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj dan Ammar ibnu Khalid Al-Wasiti, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik, dari Muhammad ibnuz Zubair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Imran ibnul Husain mengenai firman-Nya: atau memberi pakaian kepada mereka. (Al Maidah:89) Imran ibnul Husain r.a. menjawab, "Seandainya ada suatu delegasi datang kepada amir kalian, lalu amir kalian memakaikan kepada tiap orang dari mereka sebuah peci, maka tentu kalian akan mengatakan bahwa mereka telah diberi pakaian."

Akan tetapi, sanad riwayat ini daif karena keadaan Muhammad ibnuz Zubair.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syekh Abu Hamid Al-Isfirayini dalam masalah khuff (kaos kaki yang terbuat dari kulit), ada dua pendapat mengenainya. Hanya saja pendapat yang benar mengatakan tidak mencukupi.

Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan bahwa hal yang diserahkan kepada masing-masing dari mereka harus berupa pakaian yang sah dipakai untuk salat seorang laki-laki atau seorang wanita, masing-masing disesuaikan dengan keperluannya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa pakaian itu ialah sebuah baju 'abayah atau baju jas bagi tiap-tiap orang miskin. Mujahid mengatakan bahwa minimalnya adalah sebuah baju, sedangkan maksimalnya menurut kehendak orang yang bersangkutan.

Lais telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa dianggap cukup dalam kifarat sumpah segala jenis pakaian, kecuali celana pendek.

Al-Hasan, Abu Ja'far Al-Baqir, Ata, Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Abu Malik mengatakan bahwa setiap orang miskin cukup diberi sebuah baju. Dari Ibrahim An-Nakha'i disebutkan pula pakaian yang menutupi, seperti baju jas dan baju luar, tetapi ia beranggapan tidak mencukupi pakaian yang berupa kaos, baju gamis, dan kain kerudung serta lain-lainnya yang sejenis.

Al-Ansari telah meriwayatkan dari Asy'as, dari Ibnu Sirin dan Al-Hasan, bahwa yang mencukupi adalah masing-masing orang diberi satu setel pakaian.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa cukup dengan kain sorban yang dililitkan di kepala atau baju 'abayah yang dipakai sebagai baju luar.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Asim Al-Ahwal, dari Ibnu Sirin, dari Abu Musa, bahwa ia pernah mengucapkan sumpah atas sesuatu (lalu ia melanggarnya), maka ia memberi pakaian berupa satu setel pakaian (untuk tiap orang miskin) buatan Bahrain.

Firman Allah Swt:

...atau memerdekakan seorang budak.

Imam Abu Hanifah menyimpulkan makna mutlak dari ayat ini. Untuk itu, ia mengatakan bahwa dianggap cukup memerdekakan budak yang kafir, sebagaimana dianggap cukup memerdekakan budak yang mukmin.

Imam Syafii dan lain-lainnya mengatakan, diharuskan memerdeka­kan seorang budak yang mukmin. Imam Syafii menyimpulkan ikatan mukmin ini dari kifarat membunuh, karena adanya kesamaan dalam hal yang mewajibkan memerdekakan budak, sekalipun latar belakangnya berbeda.

Disimpulkan pula dari hadis Mu'awiyah ibnul Hakam As-Sulami yang ada di dalam kitab Muwatta Imam Malik, Musnad Imam Syafii, dan Sahih Muslim. Di dalamnya disebutkan Mu'awiyah terkena suatu sanksi yang mengharuskan dia memerdekakan seorang budak, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dengan membawa seorang budak perempuan berkulit hitam, maka Rasulullah Saw. bertanya kepadanya:

"Di manakah Allah?”Ia menjawab, "Di atas.” Nabi Saw. bertanya, 'Siapakah aku ini?" Ia menjawab, "Utusan Allah.” Rasulullah Saw. bersabda, "Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah seorang yang mukmin."

Demikianlah tiga perkara dalam masalah kifarat sumpah, mana saja di antaranya yang dilakukan oleh si pelanggar sumpah, dinilai cukup menurut kesepakatan semuanya. Sanksi ini dimulai dengan yang paling mudah, memberi makan lebih mudah daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih mudah daripada memerdekakan budak. Dalam hal ini sanksi menaik, dari yang mudah sampai yang berat. Dan jika orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga perkara tersebut, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan puasa selama tiga hari, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman yang selanjutnya, yaitu:

Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya puasa selama tiga hari.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengatakan bahwa barang siapa yang memiliki tiga dirham, dia harus memberi makan, dan jika ia tidak memilikinya, maka ia harus puasa (sebagai kifarat sumpahnya).

Ibnu Jarir menceritakan pendapat sebagian ahli fiqih masanya, bahwa orang yang tidak mempunyai lebihan dari modal yang dipakainya untuk keperluan penghidupannya diperbolehkan melakukan puasa sebagai kifarat sumpahnya. Orang yang tidak mempunyai lebihan dari modal itu dalam jumlah yang cukup diperbolehkan pula melakukan puasa untuk membayar kifarat sumpahnya.

Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang diperbolehkan melakukan puasa itu adalah orang yang tidak mempunyai lebihan dari penghidupan untuk dirinya dan keluarganya pada hari itu dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kifarat sumpahnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah apakah puasa itu wajib dilakukan berturut-turut ataukah hanya sunat, dan dianggap cukupkah melakukannya secara terpisah-pisah?

Ada dua pendapat mengenainya, salah satunya mengatakan tidak wajib berturut-turut. Pendapat ini dinaskan oleh Imam Syafii dalam Kitabul Aiman dan merupakan pendapat Imam Malik, mengingat kemutlakan makna firman-Nya:

...maka kifaratnya puasa selama tiga hari.

yang artinya dapat diinterpretasikan secara berturut-turut atau secara terpisah-pisah, mengingat tidak ada keterangan yang mengikatnya. Perihalnya sama dengan mengqada puasa Ramadan, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah:184)

Dalam kitab lain —yaitu dalam kitab Al-Umm— Imam Syafii telah menaskan wajib berturut-turut, seperti halnya apa yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan mazhab Hambali. Karena sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan lain-lainnya, bahwa mereka membaca ayat ini dengan bacaan berikut:

maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara berturut-turut.

Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah,dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membaca ayat tersebut dengan bacaan berikut: maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara berturut-turut.

Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Abu Ishaq telah meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Mas'ud. Ibrahim telah mengatakan dalam qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yaitu: maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara berturut-turut.

Al-A'masy mengatakan bahwa murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud membacanya seperti bacaan itu.

Qiraah ini jika tidak terbuktikan sebagai Qur'an yang mutawatir, maka paling minimal kedudukannya adalah khabar wahid atau tafsir dari sahabat, dan hal seperti ini sama hukumnya dengan hadis yang berpredikat marfu.

Firman Allah Swt.:

Yang demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah.

Yakni demikianlah kifarat (menghapus) sumpah menurut syariat.

Dan jagalah sumpah kalian.

Ibnu Jarir mengatakan, makna yang dimaksud ialah janganlah kalian tinggalkan sumpah tanpa membayar kifaratnya.

Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian hukum-hukum-Nya.

Yakni menjelaskan dan menafsirkannya.

...agar kalian bersyukur (kepada-Nya).

Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab

Allah tidak akan menghukum kalian karena sumpah yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Allah hanya akan menghukum kalian oleh sebab melanggar sumpah yang kalian maksudkan dan kalian yakini sebagai sumpah. Jika kalian melanggar sumpah, maka kalian harus melakukan sesuatu yang dapat menebus dosa-dosa kalian akibat pelanggaran sumpah. Sesuatu yang harus kalian lakukan itu adalah memberi makan kepada sepuluh fakir miskin dalam satu hari, dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga, tanpa berlebihan dan tanpa harus kikir. Atau memberikan pakaian kepada mereka dengan pakaian yang pantas, atau memerdekakan seorang budak. Jika orang-orang yang bersumpah itu tidak mampu melakukan demikian, maka ia harus berpuasa selama tiga hari. Masing-masing ketentuan itu dapat menebus dosa akibat melanggar sumpah yang dimaksud. Peliharalah sumpah kalian dan janganlah kalian tempatkan pada bukan tempatnya. Dengan cara seperti ini, Allah menjelaskan hukum-hukum-Nya agar kalian mensyukuri nikmat-Nya dengan mengetahui dan melaksanakan hak-Nya(1). (1) Seperti halnya ayat-ayat al-Qur'an yang lain, ayat ini juga mengisyaratkan pembebasan budak. Al-Qur'ân memang memperluas jalan ke arah pembebasan budak dan penghapusan perbudakan.