Skip to content

Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 6

Al-Ma'idah Ayat ke-6 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ( الماۤئدة : ٦)

yāayyuhā
يَٰٓأَيُّهَا
O you
wahai
alladhīna
ٱلَّذِينَ
who
orang-orang yang
āmanū
ءَامَنُوٓا۟
believe!
beriman
idhā
إِذَا
When
apabila
qum'tum
قُمْتُمْ
you stand up
berdiri/mengerjakan
ilā
إِلَى
for
kepada/untuk
l-ṣalati
ٱلصَّلَوٰةِ
the prayer
sholat
fa-igh'silū
فَٱغْسِلُوا۟
then wash
maka basuhlah
wujūhakum
وُجُوهَكُمْ
your faces
mukamu
wa-aydiyakum
وَأَيْدِيَكُمْ
and your hands
dan tanganmu
ilā
إِلَى
till
sampai
l-marāfiqi
ٱلْمَرَافِقِ
the elbows
siku-siku
wa-im'saḥū
وَٱمْسَحُوا۟
and wipe
dan sapulah
biruūsikum
بِرُءُوسِكُمْ
your heads
dengan/pada kepalamu
wa-arjulakum
وَأَرْجُلَكُمْ
and your feet
dan kaki-kakimu
ilā
إِلَى
till
sampai
l-kaʿbayni
ٱلْكَعْبَيْنِۚ
the ankles
kedua mata-kaki
wa-in
وَإِن
But if
dan jika
kuntum
كُنتُمْ
you are
kalian adalah
junuban
جُنُبًا
(in) a state of ceremonial impurity
berjunub
fa-iṭṭahharū
فَٱطَّهَّرُوا۟ۚ
then purify yourselves
maka bersucilah kamui
wa-in
وَإِن
But if
dan jika
kuntum
كُنتُم
you are
kalian adalah
marḍā
مَّرْضَىٰٓ
ill
sakit
aw
أَوْ
or
atau
ʿalā
عَلَىٰ
on
atas/dalam
safarin
سَفَرٍ
a journey
perjalanan
aw
أَوْ
or
atau
jāa
جَآءَ
has come
datang
aḥadun
أَحَدٌ
any one
seseorang
minkum
مِّنكُم
of you
di antara kamu
mina
مِّنَ
from
dari
l-ghāiṭi
ٱلْغَآئِطِ
the toilet
tempat buang air
aw
أَوْ
or
atau
lāmastumu
لَٰمَسْتُمُ
has (had) contact
kamu menyentuh
l-nisāa
ٱلنِّسَآءَ
(with) the women
perempuan
falam
فَلَمْ
and not
maka tidak
tajidū
تَجِدُوا۟
you find
kamu mendapatkan
māan
مَآءً
water
air
fatayammamū
فَتَيَمَّمُوا۟
then do tayyammum
maka bertayamunlah kamu
ṣaʿīdan
صَعِيدًا
(with) earth
debu/tanah
ṭayyiban
طَيِّبًا
clean
baik/bersih
fa-im'saḥū
فَٱمْسَحُوا۟
then wipe
maka usaplah
biwujūhikum
بِوُجُوهِكُمْ
your faces
dengan/pada mukamu
wa-aydīkum
وَأَيْدِيكُم
and your hands
dan tangan-tangan kamu
min'hu
مِّنْهُۚ
with it
dari padanya
مَا
Does not
tidak
yurīdu
يُرِيدُ
intend
menghendaki
l-lahu
ٱللَّهُ
Allah
Allah
liyajʿala
لِيَجْعَلَ
to make
untuk menjadikan
ʿalaykum
عَلَيْكُم
for you
atas kalian
min
مِّنْ
any
dari
ḥarajin
حَرَجٍ
difficulty
kesempitan/kesulitan
walākin
وَلَٰكِن
but
akan tetapi
yurīdu
يُرِيدُ
He intends
Dia menghendaki
liyuṭahhirakum
لِيُطَهِّرَكُمْ
to purify you
untuk membersihkan kamu
waliyutimma
وَلِيُتِمَّ
and to complete
dan untuk menyempurnakan
niʿ'matahu
نِعْمَتَهُۥ
His Favor
nikmat
ʿalaykum
عَلَيْكُمْ
upon you
atas kalian
laʿallakum
لَعَلَّكُمْ
so that you may
agar kalian
tashkurūna
تَشْكُرُونَ
(be) grateful
kalian bersyukur

Transliterasi Latin:

Yā ayyuhallażīna āmanū iżā qumtum ilaṣ-ṣalāti fagsilụ wujụhakum wa aidiyakum ilal-marāfiqi wamsaḥụ biru`ụsikum wa arjulakum ilal-ka'baīn, wa ing kuntum junuban faṭṭahharụ, wa ing kuntum marḍā au 'alā safarin au jā`a aḥadum mingkum minal-gā`iṭi au lāmastumun-nisā`a fa lam tajidụ mā`an fa tayammamụ ṣa'īdan ṭayyiban famsaḥụ biwujụhikum wa aidīkum min-h, mā yurīdullāhu liyaj'ala 'alaikum min ḥarajiw wa lākiy yurīdu liyuṭahhirakum wa liyutimma ni'matahụ 'alaikum la'allakum tasykurụn (QS. 5:6)

English Sahih:

O you who have believed, when you rise to [perform] prayer, wash your faces and your forearms to the elbows and wipe over your heads and wash your feet to the ankles. And if you are in a state of janabah, then purify yourselves. But if you are ill or on a journey or one of you comes from the place of relieving himself or you have contacted women and do not find water, then seek clean earth and wipe over your faces and hands with it. Allah does not intend to make difficulty for you, but He intends to purify you and complete His favor upon you that you may be grateful. (QS. [5]Al-Ma'idah verse 6)

Arti / Terjemahan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Ma'idah ayat 6)

Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI

Setelah Allah menjelaskan hukum tentang makanan dan hewanhewan sembelihan yang dihalalkan dan menjelaskan ketentuan menyangkut wanita-wanita yang boleh dinikahi, pada ayat ini Allah menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara beribadah kepada Allah dimulai dengan salat sebagai ibadah yang paling mulia. Ayat ini memberikan petunjuk tentang persiapan yang harus dilakukan ketika hendak melakukan salat, yaitu cara menyucikan diri dengan berwudu, tayamum, dan mandi. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah membulatkan hati hendak melaksanakan salat, sedangkan kamu saat itu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudulah, yaitu dengan cara basuhlah wajahmu dengan air dari ujung tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke ujung dagu dan bagian antara kedua telinga, dan basuhlah tanganmu sampai ke siku, dan sapulah sedikit atau sebagian atau seluruh kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, yakni keluar mani karena bersetubuh atau karena sebab lain, maka mandilah, yakni basuhlah dengan air seluruh badanmu. Dan jika kamu sakit yang menghalangi kamu menggunakan air karena khawatir penyakitmu bertambah parah atau memperlambat kesembuhan kamu, atau kamu berada dalam perjalanan yang dibenarkan agama dan dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air, yakni kakus, setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni persentuhan dalam arti pertemuan dua alat kelamin yang berbeda atau dalam arti persentuhan kulit seorang laki-laki dan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, tidak dapat menggunakannya, baik karena tidak ada, tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan debu yang baik, yakni debu yang bersih dan suci; yaitu dengan cara sapulah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah Yang Mahakuasa tidak ingin menyulitkan kamu dan tidak menghendaki sedikit pun kesulitan bagimu dengan mengharuskan kamu berwudu ketika tidak ada air atau ketika dalam keadaan sakit yang dikhawatirkan kamu bertambah sakit apabila anggota badanmu terkena air, tetapi Dia hendak membersihkan kamu, menyucikan kamu dari dosa maupun dari hadas, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu agar kamu bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamu.  

Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI

Ayat ini menerangkan cara-cara berwudu. Rukun wudu ada enam. Empat rukun di antaranya disebutkan dalam ayat ini, sedang dua rukun lagi diambil dari dalil lain. Empat macam itu ialah:
1.Membasuh muka, yaitu mulai dari rambut sebelah muka atau dahi sampai dengan dagu, dan dari telingga kanan sampai telinga kiri.
2.Membasuh dua tangan dengan air bersih mulai dari ujung jari sampai dengan dua siku.
3.Menyapu kepala, cukup menyapu sebagian kecil kepala menurut mazhab Syafii.184)
4.Membasuh dua kaki mulai dari jari-jari sampai dengan dua mata kaki. Kesemuanya itu dengan menggunakan air. Sedang dua rukun lagi yang diambil dari hadis ialah:
a.Niat, pekerjaan hati, dan tidak disebutkan dalam ayat ini tetapi niat itu diharuskan pada setiap pekerjaan ibadah sesuai dengan hadis:
"Sesungguhnya segala amalan adalah dengan niat" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Umar bin al-Khattab).

b.Tertib, artinya melakukan pekerjaan tersebut di atas sesuai dengan urutan yang disebutkan Allah dalam ayat ini. Tertib itu tidak disebutkan dengan jelas di dalam ayat ini, tetapi demikianlah Nabi melaksanakannya dan sesuai pula dengan sabdanya yang berbunyi:
Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah. (Riwayat an-Nasai dan Jabir bin Abdillah).

Adapun selain enam rukun itu, seperti membasuh tiga kali, berkumur
kumur adalah sunat hukumnya. Kewajiban wudu ini bukanlah setiap kali
hendak mengerjakan salat, tetapi wudu itu diwajibkan bagi seorang yang
akan salat, jika wudunya sudah batal atau belum berwudu, sesuai dengan
hadis yang berbunyi:
Allah tidak menerima salat salah seorang di antara kalian, apabila ia berhadas hingga ia berwudu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Berikutnya Allah menerangkan hal-hal yang mengharuskan seseorang wajib mandi di antaranya :
a.Keluar mani;
b.Jima' (bersetubuh);
c.Haid;
d. Nifas;
e.Wiladah (melahirkan);
f.Mati (orang yang hidup wajib memandikan yang mati).

Orang yang terkena salah satu dari (a) sampai (e) dinamakan orang yang berhadas besar, wajib mandi dan berwudu sebelum salat. Orang yang berhadas kecil, hanya wajib berwudu saja. Kewajiban wudu disebabkan :
a.Keluar sesuatu dari lubang buang air kecil dan buang air besar;
b.Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, antara keduanya tanpa pembatas188;
c.Tidur yang tidak memungkinkan seseorang tahu jika keluar angin dari duburnya;
d.Hilang akal karena mabuk, gila dan sebagainya;
e.Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau menyentuh lubang dubur;
f.Murtad (keluar dari agama Islam).
Selanjutnya ayat ini menerangkan cara-cara bertayamum. Jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak boleh memakai air, atau dalam keadaan musafir tidak menemukan air untuk berwudu, maka wajib bertayamum dengan debu tanah. Caranya ialah dengan meletakkan kedua belah telapak tangan pada debu tanah yang bersih lalu disapukan ke muka, kemudian meletakkan lagi kedua telapak tangan ke atas debu tanah yang bersih, lalu telapak tangan yang kiri menyapu tangan kanan mulai dari belakang jari-jari tangan terus ke pergelangan sampai dengan siku, dari siku turun ke pergelangan tangan lagi untuk menyempurnakan penyapuan yang belum tersapu, sedang telapak tangan yang sebelah kanan yang berisi debu tanah jangan diganggu untuk disapukan pula ke tangan sebelah kiri dengan cara yang sama seperti menyapu tangan kanan. Demikianlah cara Nabi bertayamum.
Kemudian akhir ayat ini menjelaskan bahwa perintah berwudu dan tayamum bukanlah untuk mempersulit kaum Muslimin, tetapi untuk menuntun mereka mengetahui cara-cara bersuci, dan untuk menyempurnakan nikmat-Nya, agar kaum Muslimin menjadi umat yang bersyukur.

Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri) maksudnya hendak berdiri (mengerjakan salat) dan kamu sedang berhadas (maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku) artinya termasuk siku itu sebagaimana diterangkan dalam sunah (dan sapulah kepalamu) ba berarti melengketkan, jadi lengketkanlah sapuanmu itu kepadanya tanpa mengalirkan air. Dan ini merupakan isim jenis, sehingga dianggap cukup bila telah tercapai sapuan walaupun secara minimal, yaitu dengan disapunya sebagian rambut. Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafii (dan kakimu) dibaca manshub karena diathafkan kepada aidiyakum; jadi basuhlah tetapi ada pula yang membaca dengan baris di bawah/kasrah dengan diathafkan kepada yang terdekat (sampai dengan kedua mata kaki) artinya termasuk kedua mata kaki itu, sebagaimana diterangkan dalam hadis. Dua mata kaki ialah dua tulang yang tersembul pada setiap pergelangan kaki yang memisah betis dengan tumit. Dan pemisahan di antara tangan dan kaki yang dibasuh dengan rambut yang disapu menunjukkan diharuskannya/wajib berurutan dalam membersihkan anggota wudu itu. Ini juga merupakan pendapat Syafii. Dari sunah diperoleh keterangan tentang wajibnya berniat seperti halnya ibadah-ibadah lainnya. (Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah) maksudnya mandilah (dan apabila sakit) yang akan bertambah parah dengan menyentuh air (atau dalam perjalanan) musafir (atau kamu kembali dari tempat buang air) artinya berhadas (atau menyentuh wanita) hal ini telah dibicarakan dulu pada surah An-Nisa (lalu kamu tidak memperoleh air) yakni setelah mencarinya (maka bertayamumlah) dengan mencari (tanah yang baik) tanah yang bersih (sapulah muka dan tanganmu) beserta kedua siku (dengan tanah itu) dengan dua kali pukulan. Ba menunjukkan lengket sementara sunah menjelaskan bahwa yang dimaksud ialah hendaklah sapuan itu meliputi kedua anggota secara keseluruhan (Allah tidaklah hendak menyulitkan kamu) dengan kewajiban-kewajiban berwudu, mandi atau tayamum itu (tetapi Dia hendak menyucikan kamu) dari hadas dan dosa (dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu) yakni dengan Islam dengan menerangkan syariat-syariat agama (semoga kamu bersyukur) atas nikmat-Nya itu.

Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Kebanyakan ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

Apabila kalian hendak mengerjakan salat.

Maksudnya, ketika kalian sedang dalam keadaan berhadas. Sedang­kan ulama lainnya mengatakan, apabila kalian bangun dari tidur hen­dak mengerjakan salat. Kedua makna tersebut berdekatan. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bahkan makna yang dimaksud lebih umum daripada semua itu. Ayat ini memerintahkan berwudu di saat hendak mengerjakan salat, tetapi bagi orang yang berhadas hukumnya wajib, sedangkan bagi orang yang masih suci hukumnya sunat.

Barangkali ada yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap salat hukumnya wajib pada masa permulaan Islam, kemudian di-mansukh.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayah­nya yang menceritakan bahwa dahulu Nabi Saw. selalu wudu setiap hendak mengerjakan salat. Pada hari kemenangan atas kota Mekah, beliau melakukan wudu dan mengusap sepasang khuff-nya serta mela­kukan beberapa salat hanya dengan sekali wudu. Maka Umar berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguh­nya engkau telah melakukan suatu hal yang belum pernah engkau la­kukan sebelumnya." Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya aku melakukannya dengan sengaja, hai Umar.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadis Sufyan AS-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedang­kan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ismail ibnu Taubah, dari Ziyad Al-Buka-i.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar. Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang wudu yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Umar pada setiap salatnya, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari manakah sum­bernya?" Ubaidillah ibnu Abdullah menjawab bahwa Asma binti Zaid ibnul Khattab pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Hanzalah ibnul Gasil pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan berwudu untuk setiap salat, baik dalam keada­an suci ataupun tidak. Ketika hal ini terasa berat olehnya, maka beliau Saw. memerintahkan bersiwak di saat akan mengerjakan salat dan menghapuskan kewajiban wudu lagi, kecuali karena berhadas. Tetapi Abdullah merasa dirinya mempunyai kekuatan untuk melakukan wudu setiap salat, dia selalu melakukannya hingga meninggal dunia.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Muhammad ibnu Auf Al-Himti, dari Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi,

Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.

Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Sa'd meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ishaq, lalu disebutkan bahwa Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar mengisahkan hadis yang sama seperti apa yang disebutkan pada riwayat Imam Ahmad di atas.

Walau bagaimanapun juga sanad hadis ini sahih, dan Ibnu Ishaq menerangkan di dalamnya bahwa dia telah menceritakan hadis ini berdasarkan pendengarannya dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hib­ban, sehingga lenyaplah kekhawatiran adanya pemalsuan.

Tetapi Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan bahwa Salamah ibnul Fadl dan Ali ibnu Mujahid meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dengan lafaz yang sama.

Dalam perbuatan Ibnu Umar dan perbuatannya dalam melakukan wudu dengan baik untuk setiap salatnya secara terus-menerus terkan­dung pengertian yang menunjukkan sunatnya hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Azhar, dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwa para khalifah selalu mela­kukan wudu untuk setiap salat.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, ia pernah men­dengar dari Mas'ud ibnu Ali Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa sahabat Ali r.a. se­lalu melakukan wudunya untuk setiap salat, lalu ia membaca firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger­jakan salat. hingga akhir ayat.

Telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Maisarah, dari An-Nizal ibnu Sabrah yang me­ngatakan bahwa ia pernah melihat sahabat Ali salat Lohor, lalu orang-orang (para makmum yang telah menyelesaikan salatnya bersama Ali r.a) duduk di Rahbah. Kemudian didatangkan air kepada Khalifah Ali. Maka Ali r.a. membasuh wajah dan kedua tangannya, kemudian mengusap kepala dan kedua kakinya (dengan air wudu itu). Lalu ia berkata, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas."

Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah mence­ritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Kha­lifah Ali menakar makanan dari tempat penyimpanannya, lalu mela­kukan wudu dengan cara yang singkat, dan ia mengatakan, "Inilah ca­ra wudu orang yang tidak berhadas."

Jalur-jalur periwayatan asar ini berpredikat jayyid dari sahabat Ali r.a., sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab pernah melakukan suatu wudu agak singkat, lalu ia mengata­kan, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas." Sanad asar ini sahih.

Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu para khalifah sering melakukan wudu untuk setiap salatnya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ab­dur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, da­ri Amr ibnu Amir Al-Ansari, ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa dahulu Nabi Saw. sering melakukan wudu pada setiap kali salatnya. Lalu Amr ibnu Amir Al-Ansari bertanya, "Bagai­mana dengan wudu kalian, apakah yang kalian (para sahabat) lakukan?" Anas ibnu Malik r.a. menjawab, "Kami (para sahabat) melaku­kan semua salat hanya dengan sekali wudu selagi kami tidak berha­das."

Imam Bukhari meriwayatkannya —begitu pula Ahlus Sunan— melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Amir dengan lafaz yang sama.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Man­sur, dari Harim, dari Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abu Atif, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang melakukan wudu dalam keadaan suci, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan.

Ibnu Jarir mengatakan, segolongan ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pemberitahuan dari Allah yang menyata­kan bahwa wudu tidaklah wajib kecuali bila hendak mengerjakan sa­lat saja, adapun pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak. Demikian itu ka­rena Rasulullah Saw. apabila berhadas, beliau menghentikan kerjanya secara keseluruhan sebelum berwudu lagi.

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Amr ibnu Hazm, dari Abdullah ibnu Alqamah ibnu Waqqas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa da­hulu Rasulullah Saw. apabila sedang buang air kecil, lalu kami ajak bicara, beliau Saw. tidak mau berbicara dengan kami, dan bila kami ucapkan salam penghormatan kepadanya, beliau Saw. tidak mau men­jawabnya, hingga turunlah ayat rukhsah, yaitu firman-Nya yang me­ngatakan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger­jakan salat., hingga akhir ayat.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceri­takan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. baru saja keluar dari buang air (kakus), lalu disuguhkan kepadanya makanan dan mereka (para sahabat) menawarkan, "Maukah kami datangkan untukmu air untuk wudu?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk wudu hanya bila aku hendak mengerjakan salat.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dari Ahmad ibnu Mani', juga oleh Imam Nasai, dari Ziyad ibnu Ayyub, dari Ismail (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi me­ngatakan bahwa hadis ini hasan.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Hu-wairis, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Ketika kami berada di rumah Nabi Saw., Nabi Saw. memasuki kakus dan kembali lagi, lalu dihidangkan makanan untuknya, dan dikatakan, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau hendak wudu lebih dahulu?' Rasulullah Saw. menja­wab melalui sabdanya: Aku bukan akan melakukan salat yang karenanya aku harus wudu.

Firman Allah Swt.:

...maka basuhlah muka kalian.

Segolongan ulama menjadikan ayat berikut ini, yaitu firman-Nya: apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al Maidah:6), sebagai dalil bagi mereka yang menyatakan wajib berniat dalam wu­du. Karena penjabaran makna firman-Nya:

Apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian., Yakni demi hendak mengerjakan salat. Seperti pengertian dalam kata-kata orang-orang Arab, "Apabila kamu melihat amir, berdirilah” yak­ni untuk menghormatinya.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis yang mengata­kan:

Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh apa yang diniat­kannya.

Sebelum membasuh muka disunatkan menyebut asma Allah Swt. se­bagai permulaan wudunya, karena berdasarkan sebuah hadis yang di­riwayatkan melalui berbagai jalur yang jayyid dari sejumlah sahabat, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.

Disunatkan pula membasuh kedua telapak tangannya sebelum mema­sukkan keduanya ke dalam wadah. Hal ini lebih dikukuhkan lagi ke­sunatannya bila baru bangun dari tidur, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a yang mengata­kan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam wadah (air) sebelum mem­basuhnya sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui di manakah tangannya berada semalam.

Batas muka menurut ulama fiqih ialah dimulai dari tempat tumbuh­nya rambut —dalam hal ini tidak dianggap adanya kebotakan, tidak pula pitak (belang di kepala)— sampai dengan batas terakhir dari rambut janggut, menurut ukuran panjangnya.' Dimulai dari telinga sampai dengan telinga lagi menurut ukuran lebarnya. Sehubungan dengan bagian terbelahnya rambut pada kedua sisi kening dan bagian tumbuhnya rambut yang lembut, apakah termasuk kepala atau muka —dan sehubungan dengan janggut yang panjangnya melebihi batas— ada dua pendapat.

Salah satu di antaranya mengatakan bahwa wajib meratakan air padanya karena bagian ini termasuk bagian muka. Diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa Nabi Saw. melihat seorang lelaki yang menutupi rambut janggutnya, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:

Bukalah penutup itu, karena sesungguhnya janggut termasuk wa­jah.

Mujahid mengatakan bahwa janggut termasuk muka (wajah), tidak­kah kamu pernah mendengar perkataan orang Arab sehubungan de­ngan anak laki-laki remaja yang tumbuh janggutnya, mereka menga­takannya, 'Telah tampak roman mukanya."

Orang yang berwudu disunatkan menyela-nyelai rambut jang­gutnya jika tebal.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Amir ibnu Hamzah, dari Syaqiq yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman berwudu, ternyata Khalifah Usman menyela-nyelai rambut janggutnya sebanyak tiga kali ketika membasuh muka­nya. Kemudian ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan apa yang baru kalian lihat aku melakukannya.

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui ha­dis Abdur Razzaq, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan dinilai hasan oleh Imam Bukhari.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabi' ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abul Malih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Zauran, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. apabila hendak mela­kukan wudu terlebih dahulu mengambil air sepenuh telapak tangan­nya, kemudian beliau masukkan ke dalam dagunya, lalu menyela-nye­lai janggutnya dengan air itu. Dan bersabda: Beginilah cara yang diperintahkan oleh Tuhanku.

Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.

Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain dari sahabat Anas. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan sehu­bungan dengan masalah menyela-nyelai janggut sebuah hadis dari Ammar dan Siti Aisyah serta Ummu Salamah, dari Nabi Saw. Kemu­dian dari Ali dan lain-lainnya. Kami meriwayatkan pula sehubungan dengan rukhsah meninggalkannya dari Ibnu Umar dan Al-Hasan ibnu Ali. Kemudian dari An-Nakha'i dan segolongan dari kalangan tabi'in.

Di dalam berbagai kitab sahih disebutkan dari Nabi Saw. melalui berbagai jalur —juga dalam kitab-kitab lainnya— bahwa Nabi Saw. apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu berkumur dan ber-intinsyaq (membersihkan lubang hidungnya). Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini, apakah keduanya wajib dalam wudu dan mandi, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal, atau keduanya sunat seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan mazhab Maliki, karena berdasarkan kepada hadis yang di­riwayatkan oleh Ashabus Sunan dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, dari Rifa'ah ibnu Rafi' Az-Zurqi, bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang yang melakukan salatnya tidak baik:

Berwudulah seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepada­mu!

Atau keduanya diwajibkan dalam mandi, tidak dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah, atau yang diwajibkan ha­nya istinsyaq, bukan berkumur, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Barang siapa yang berwudu, maka hendaklah ia ber-istinsyaq.

Menurut riwayat yang lain disebutkan:

Apabila seseorang di antara kalian berwudu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam kedua lubang hidungnya, kemudian ber-istinsar-lah.

Yang dimaksud dengan istinsar ialah menyedot air dengan hidung de­ngan sedotan yang kuat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh wajahnya, kemudian men­ciduk air dan menggunakannya untuk berkumur dan ber-istinsar. Lalu menciduk air lagi dan ia gunakan seperti ini, yakni menuangkannya pada telapak tangannya yang lain, kemudian ia gunakan untuk mem­basuh wajahnya. Setelah itu ia mengambil air lagi dan ia gunakan un­tuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi, kemudian ia gunakan untuk membasuh tangan kirinya. Sesudah itu ia mengusap kepalanya, lalu mengambil seciduk air, kemudian ia tuang­kan sedikit demi sedikit pada kaki kanannya hingga mencucinya ber­sih. Setelah itu ia mengambil seciduk air lagi, lalu ia gunakan untuk membasuh kaki kirinya. Sesudah itu ia mengatakan, "Beginilah cara wudu yang pernah kulihat Rasulullah Saw. melakukannya."

Imam Bukhari meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdur Rahim, dari Abu Salamah Mansur ibnu Salamah Al-Khuza'i dengan lafaz yang sama.

Firman Allah Swt.:

...dan kedua tangan kalian sampai siku.

Yakni berikut sikunya. Perihalnya sama dengan makna yang ada da­lam firman-Nya:

dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar. (An Nisaa:2)

Orang yang berwudu disunatkan membasuh kedua tangannya de­ngan memulainya dari lengan hingga kedua hastanya ikut terbasuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bu­khari dan Imam Muslim:

melalui hadis Na'im Al-Mujammar, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersab­da: Sesungguhnya umatku kelak dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya pada anggota-anggota wudunya karena be­kas air wudu (mereka). Karena itu, barang siapa di antara kali­an mampu memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukan­nya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:

dari Qatadah, dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar orang yang dikasihinya (yakni Nabi Saw.) bersabda: Perhiasan orang mukmin kelak sampai sebatas yang dicapai oleh air wudunya.

Firman Allah Swt.:

...dan sapulah kepala kalian.

Para ulama berselisih pendapat mengenai makna huruf ba dalam ayat ini, apakah lil ilsaq yang merupakan pendapat terkuat, atau lit tab'id, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, karena ada dua pen­dapat mengenainya. Tetapi ulama usul ada yang mengatakan bahwa makna ayat ini mujmal (global), maka untuk keterangannya merujuk kepada sunnah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan:

melalui jalur Malik, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, bahwa seorang lelaki ber­tanya kepada Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim, yaitu kakek Amr ibnu Yahya, salah seorang sahabat Nabi Saw,, "Apakah engkau dapat memperagakan kepadaku cara wudu Rasulullah Saw.?" Abdullah ibnu Zaid menjawab, "Ya." Lalu ia meminta air wudu, kemudian ia menuangkan air kepada kedua tangannya, lalu ia membasuh kedua ta­ngannya sebanyak dua kali dan berkumur serta ber-istinsyaq se­banyak tiga kali. Sesudah itu ia membasuh wajahnya tiga kali, dan membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dua kali. Selanjut­nya ia mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, yaitu dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke arah depan, kemu­dian ke arah belakang kepala, Ia memulai usapannya dari bagian depan kepalanya, lalu diusapkan ke arah belakang sampai batas teng­kuknya, kemudian mengembalikan kedua telapak tangannya ke arah semula, sesudah itu ia membasuh kedua kakinya.

Di dalam hadis Abdu Khair, dari Ali, mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. disebutkan hal yang semisal.

Imam Abu Daud meriwayatkan dari Mu'awiyah dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. dengan keterangan yang semisal.

Di dalam hadis-hadis di atas terkandung dalil bagi orang yang berpendapat wajib menyempurnakan usapan hingga merata ke seluruh bagian kepala, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal, terlebih lagi menurut pendapat orang yang menduga bahwa hadis-hadis ini merupakan keterangan dari apa yang disebutkan secara global di dalam Al-Qur'an.

Mazhab Hanafi berpendapat wajib mengusap seperempat bagian kepala, yaitu sampai dengan batas ubun-ubun. Sedangkan menurut pendapat mazhab kami (Imam Syafii), sesungguhnya yang diwajibkan dalam masalah mengusap kepala ini hanyalah sebatas apa yang dina­makan mengusap menurut terminologi bahasa. Hal ini tidak mempu­nyai batasan tertentu, bahkan seandainya seseorang mengusap sebagi­an dari rambut kepalanya, hal ini sudah mencukupi.

Tetapi kedua belah pihak berhujan dengan hadis Al-Mugirah ib­nu Syu'bah yang menceritakan,

"Nabi Saw. memisahkan diri, dan aku pun ikut memisahkan diri bersamanya. Setelah beliau Saw. selesai dari menunaikan hajarnya, beliau bersabda, 'Apakah kamu membawa air?' Maka aku memberikan kepadanya air untuk wudu, lalu beliau membasuh kedua telapak tangan dan wajahnya, kemudian bermaksud menyingsingkan lengan bajunya, tetapi lengan bajunya sempit, akhir­nya kedua tangannya dikeluarkannya dari bawah kain jubahnya dan baju jubahnya disampirkannya ke atas kedua sisi pundaknya. Lalu beliau membasuh kedua tangan dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap pula serban (yang dipakai)nya dan sepasang khuff-nya."

Kelanjutan hadis ini disebutkan dengan panjang lebar di dalam kitab Sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya.

Para pengikut Imam Ahmad mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Nabi Saw. terbatas hanya mengusap pada ubun-ubun­nya, karena beliau menyempurnakan pengusapannya pada bagian ke­pala lainnya di atas kain serbannya. Kami sependapat dengan penger­tian ini dan memang demikianlah kejadiannya, seperti yang disebut oleh banyak hadis lain. Disebutkan bahwa beliau Saw. mengusap pada kain serbannya, juga pada sepasang khuff-nya. Pengertian inilah yang lebih utama, dan tiada dalil bagi kalian yang membolehkan mengusap hanya sebatas ubun-ubun atau sebagian dari kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap pada bagian luar kain serban.

Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai masalah sunat mengulang usapan kepala sampai tiga kali, seperti yang dikatakan oleh pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii. Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan para pengikutnya, yang disunatkan hanyalah sekali usapan saja. Sehubungan dengan masalah ini, ada dua pendapat di kalangan mereka.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ata ibnu Yazid Al-Laisi, dari Hamran ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudunya. Ia memulainya dengan menuangkan air pada kedua telapak tangannya, lalu membasuhnya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan ber-intinsyaq. Setelah itu ia membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, mem­basuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, dan membasuh tangan kiri dengan basuhan yang semisal. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sebanyak tiga kali dan kaki kirinya sebanyak tiga kali pula, sama dengan ba­suhan yang pertama. Kemudian ia mengatakan bahwa ta telah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya. Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa melakukan wudu seperti wuduku ini, lalu ia salat dua rakaat tanpa mengalami hadas pada keduanya, niscaya di­ampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui jalur Az-Zuhri dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan melalui riwayat Ab­dullah ibnu Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Usman, tentang gam­baran wudu yang disebut di dalamnya bahwa ia mengusap kepalanya hanya sekali.

Hal yang sama disebutkannya pula melalui riwayat Abdu Khair, dari Ali r.a. dengan lafaz yang semisal.

Sedangkan orang-orang yang menyunatkan mengulangi usapan atas kepala berpegang kepada pengertian umum hadis yang diriwayat­kan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Usman r.a., bahwa Rasulullah Saw. melakukan (basuhan dan usapan) wudunya masing-masing sebanyak tiga kati.

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Wardan, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu Abdur Rah­man, telah menceritakan kepadaku Hamran yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudu. Kemudian ia menyebut hadis yang semisal (dengan hadis di atas), tanpa menyebut berkumur dan istinsyaq. Hamran menyebutkan di dalamnya bahwa kemudian Usman mengusap kepalanya sebanyak tiga kali dan mem­basuh kedua kakinya sebanyak tiga kali pula. Setelah itu ia berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti ini, lalu beliau Saw. bersabda: 'Barang siapa yang berwudu seperti ini, sudah cukuplah bagi­nya'."

Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud. Ke­mudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis-hadis Usman di dalam kitab-kitab sahih menunjukkan bahwa dia mengusap kepalanya hanya sekali.

Firman Allah Swt.:

...dan (basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki.

Lafaz arjulakum dibaca nasab karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya:

...maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah men­ceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya:

...dan (basuh) kaki kalian.
Ia mengatakan bahwa makna ayat ini dikembalikan kepada memba­suh.

Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Urwah, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, Ibrahim, Ad-Dahhak, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, dan Ibrahim At-Taiini hal yang semisal.

Qiraah ini jelas, maknanya menunjukkan wajib membasuh, se­perti apa yang dikatakan oleh ulama Salaf. Berangkat dari pengertian ini ada sebagian orang yang berpendapat wajib tertib dalam wudu, se­perti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia berpendapat berbeda karena ia tidak mensya­ratkan adanya tertib ini. Karena itu, seandainya seseorang membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, lalu mengusap kepala, dan membasuh kedua tangan, kemudian membasuh wajah, menurutnya sudah cukup, karena ayat ini memerintahkan agar anggota-anggota tersebut diba­suh, dan huruf wawu bukan menunjukkan makna tertib.

Jumhur ulama dalam membantah pendapat ini mengemukakan suatu pembahasan menurut caranya masing-masing. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian wajah saat hendak mengerjakan salat, karena pe­rintahnya memakai huruf fa yang menunjukkan makna ta'qib penger­tiannya identik dengan tertib (yakni berurutan). Tidak ada seorang pun yang mengatakan wajib membasuh muka pada permulaannya, ke­mudian tidak wajib tertib pada basuhan berikutnya. Bahkan hanya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan wajib tertib seperti yang di­sebutkan oleh ayat, dan pendapat lainnya mengatakan tidak wajib ter­tib secara mutlak. Padahal makna ayat menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian muka, diwajibkan tertib pada berikutnya menu­rut kesepakatan ulama, mengingat tidak ada bedanya.

Di antara mereka ada yang berpendapat, "Kami tidak menerima bahwa huruf wawu tidak menunjukkan kepada pengertian tertib, bah­kan huruf wawu memang menunjukkan pengertian te

Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan salat, sedang kalian belum berwudu, maka berwudulah dengan membasuh muka dan tangan sampai sikunya. Lalu usaplah kepala--seluruhnya atau sebagian--dan basuhlah kaki sampai dengan kedua matanya. Apabila hendak melaksanakan salat, dan kalian dalam keadaan junub karena menggauli istri, maka mandilah dengan membasuh seluruh badan. Jika kalian menderita sakit yang tidak memungkinkan penggunaan air, atau dalam perjalanan yang tidak memungkinkan kalian mendapatkan air, atau ketika kalian selesai buang air, atau menggauli istri(1) lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci. Usaplah muka dan tangan kalian dengan debu itu. Sesungguhnya Allah tidak bermaksud menyulitkan kalian pada semua perintah-Nya. Allah menetapkan ketentuan itu semua dengan maksud untuk membersihkan kalian secara lahir dan batin, dan menyempurnakan nikmat-Nya dengan memberi petunjuk dan kemudahan kepada kalian, agar kalian bersyukur atas petunjuk dan hidayah-Nya dengan selalu menaati-Nya. (2). (1) bagian besar ahli tafsir mengartikan kata "lâmastum" dalam ayat ini dengan 'menyentuh'. Ada juga yang mengartikannya dengan 'menggauli'. Perbedaan penafsiran ini mempunyai konsekuensi hukum masing-masing. Jika kata "lâmastum" diartikan 'menyentuh', maka wudu seseorang menjadi batal dengan sekadar sentuhan. Tetapi jika diartikan 'menggauli', wudu seseorang tidak batal hanya karena menyentuh wanita. (2) rsuci (thahârah) dalam Islam mengandung dua pengertian. Pertama, mengarahkan hati kepada Allah dengan penuh persiapan agar dapat menghadap Allah dengan jiwa bersih dan ikhlas. Kedua, bersuci secara lahiriah dengan melakukan wudu, yaitu membersihkan sebagian anggota badan dari kotoran. Bersuci dalam pengertian kedua ini kadang-kadang terulang sampai lima kali dalam sehari. Dapat pula dengan cara mandi setelah mengadakan hubungan suami istri, atau setelah bersuci dari haid dan nifas. Wudu dan mandi ini mempunyai manfaat yang besar, yaitu membersihkan dan menjaga tubuh dari kotoran dan debu yang membawa bibit penyakit, melancarkan peredaran darah dan mengurangi ketegangan otot-otot. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda, "Kalau kamu [sedang] marah, berwudulah." Sedangkan tayamum mengandung makna bersuci dalam pengertian pertama, yaitu mengarahkan hati kepada Allah dengan penuh persiapan, agar dapat mengahadap Allah dengan jiwa bersih dan ikhlas.

Asbabun Nuzul
Surat Al-Ma'idah Ayat 6

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Amr bin al-Harits, dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari bapaknya, yang bersumber dari Aisyah bahwa kalung Siti Aisyah jatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah saw. memberhentikan untanya, lalu turun untuk mencarinya. Kemudian beliau beristirahat hingga tertidur di pangkuan Siti Aisyah. Tiada lama kemudian datanglah Abu Bakr menampar Siti Aisyah sekerasnya seraya berkata: "Kamulah yang menahan orang-orang karena sebuah kalung!" Nabi saw. terbangun dan tibalah waktu shubuh. Beliau mencari air tapi tidak mendapatkannya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 6). Berkatalah Usaid bin Mudlair: "Allah telah memberikan berkah kepada manusia dengan sebab keluarga Abu Bakr." Ayat tersebut mewajibkan berwudlu atau bertayamum sebelum shalat.

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Abbad bin Abdillah bin Zubair yang bersumber dari Aisyah bahwa setelah terjadi peristiwa hilangnya kalung Aisyah yang menimbulkan fitnah besar, pada suatu ketika, dalam suatu peperangan bersama Rasulullah saw, kalung Aisyah jatuh lagi. Orang-orangpun terhalang pulang karena perlu mencari kalung yang hilang itu. Berkatalah Abu Bakr kepada Aisyah: "Wahai anakku, tiap-tiap perjalanan engkau selalu menjadi bala dan menjengkelkan orang lain." Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 6) yang membolehkan bertayamum. Abu Bakr berkata: "Sesungguhnya engkau membawa berkah."

Keterangan:
a) hadits al-Bukhari dari riwayat Amr bin al-Harits dengan jelas menyatakan bahwa ayat tayamum yang diriwayatkan dalam berbagai hadits ialah ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6). Banyak riwayat lagi yang mengemukakan ayat tayamum tanpa menyebutkan sumber surahnya. Menurut Ibnu Abdilbarr, riwayat seperti itu mudlilah (membingungkan) karena tidak jelas ayat mana dari kedua ayat tersebut. (an-Nisaa: 43 atau al-Maa-idah: 6) yang dimaksud oleh Aisyah. Ibnu Abdilbarr tidak mendapatkan dalil yang memperkuat hadits di atas.
Menurut Ibnu Baththal, riwayat tersebut berkenaan dengan ayat dalam surah an-Nisaa. Dengan alasan bahwa ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6) diberi nama ayat wudlu, sedangkan ayat an-Nisaa (an-Nisaa: 43) tidak disebut ayat wudlu, jadi ayat ini bisa ditujukan khusus untuk tayamum.
Menurut al-Wahidi, Hadits al-Bukhari tersebut juga merupakan dalil asbabun nuzul ayat an-Nisaa (an-Nisaa: 43), dan tiada syak lagi dianggap lebih berat benarnya oleh al-Bukhari sebagai asbabun nuzul ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6). Inilah jalan keluar yang dikemukakan oleh al-Wahidi dalam menetapkan asbabun nuzul ayat tersebut.
b) Hadits al-Bukhari ini menunjukkan bahwa wudlu telah diwajibkan kepada umat Islam sebelum turun ayat ini (al-Maa-idah: 6). Oleh karena itu mereka merasa keberatan untuk berhenti di tempat yang tidak ada airnya, sehingga Abu Bakr mengatakan kepada Aisyah bahwa dia membawa berkah (tegasnya jadi sebab dibolehkannya tayamum).
Menurut Ibnu Adilbarr, ahli sejarah peperangan telah maklum bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. selalu berwudlu untuk shalat (sejak mulai shalat difardlukan), dan tidak ada yang membantahnya kecuali orang bodoh atau pembangkang. Adapun hikmah turun perintah ayat wudlu yang didahului dengan amalnya, ialah supaya fardlu wudlu diperkuat dengan turunnya ayat.
Menurut pendapat lain, boleh jadi awal ayat itu (al-Maa-idah: 6) diturunkan lebih dulu berkenaan dengan fardlu wudlu, dan sisanya diturunkan kemudian berkenaan dengan tayamum di dalam riwayat tersebut di atas.
Menurut as-Suyuthi, yang pertama itu benar, karena fardlu wudlu itu ditetapkan di Mekah bersamaan dengan fardlu shalat, padahal ayat ini (al-Maa-idah: 6) adalah Madaniyyah.