Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 1
Al-Ma'idah Ayat ke-1 ~ Quran Terjemah Perkata (Word By Word) English-Indonesian dan Tafsir Bahasa Indonesia
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ ( الماۤئدة : ١)
- yāayyuhā
- يَٰٓأَيُّهَا
- O you
- wahai
- alladhīna
- ٱلَّذِينَ
- who
- orang-orang yang
- āmanū
- ءَامَنُوٓا۟
- believe!
- beriman
- awfū
- أَوْفُوا۟
- Fulfil
- penuhilah olehmu
- bil-ʿuqūdi
- بِٱلْعُقُودِۚ
- the contracts
- dengan/akan janji-janji
- uḥillat
- أُحِلَّتْ
- Are made lawful
- dihalalkan
- lakum
- لَكُم
- for you
- bagi kalian
- bahīmatu
- بَهِيمَةُ
- the quadruped
- binatang
- l-anʿāmi
- ٱلْأَنْعَٰمِ
- (of) the grazing livestock
- ternak
- illā
- إِلَّا
- except
- kecuali
- mā
- مَا
- what
- apa
- yut'lā
- يُتْلَىٰ
- is recited
- dibacakan
- ʿalaykum
- عَلَيْكُمْ
- on you
- atas kalian
- ghayra
- غَيْرَ
- not
- bukan/tidak
- muḥillī
- مُحِلِّى
- being permitted
- menghalalkan
- l-ṣaydi
- ٱلصَّيْدِ
- (to) hunt
- berburu
- wa-antum
- وَأَنتُمْ
- while you
- dan kalian
- ḥurumun
- حُرُمٌۗ
- (are in) Ihram
- ihram/mengerjakan haji
- inna
- إِنَّ
- Indeed
- sesungguhnya
- l-laha
- ٱللَّهَ
- Allah
- Allah
- yaḥkumu
- يَحْكُمُ
- decrees
- Dia menetapkan hukum
- mā
- مَا
- what
- apa
- yurīdu
- يُرِيدُ
- He wills
- Dia kehendaki
Transliterasi Latin:
Yā ayyuhallażīna āmanū aufụ bil-'uqụd, uḥillat lakum bahīmatul-an'āmi illā mā yutlā 'alaikum gaira muḥilliṣ-ṣaidi wa antum ḥurum, innallāha yaḥkumu mā yurīd(QS. 5:1)
English Sahih:
O you who have believed, fulfill [all] contracts. Lawful for you are the animals of grazing livestock except for that which is recited to you [in this Quran] – hunting not being permitted while you are in the state of ihram. Indeed, Allah ordains what He intends. (QS. [5]Al-Ma'idah verse 1)
Arti / Terjemahan:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Ma'idah ayat 1)
Tafsir Ringkas Kemenag
Kementrian Agama RI
Surah ini diawali dengan perintah kepada setiap orang yang beriman agar memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia. Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji, yaitu janji-janji antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dirinya sendiri, selama janji-janji itu tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Di antara janji Allah itu ialah hukum-hukum-Nya yang ditetapkan kepadamu, yaitu bahwasanya hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dihalalkan bagimu sesudah disembelih secara sah, kecuali yang akan disebutkan kepadamu haramnya, yaitu yang disebut pada ayat ketiga dari surat ini, dan juga dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram haji atau umrah. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum halal dan haram sesuai dengan yang Dia kehendaki, menurut ilmu-Nya dan hikmah-Nya.
Tafsir Lengkap Kemenag
Kementrian Agama RI
Permulaan ayat ini memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji prasetia hamba kepada Allah, maupun janji yang dibuat di antara sesama manusia, seperti yang bertalian dengan perkawinan, perdagangan dan sebagainya, selama janji itu tidak melanggar syariat Allah, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang berbunyi:
"Setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, adalah batil meskipun seratus macam syarat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra).
Selanjutnya ayat ini menyebutkan tentang binatang-binatang yang halal dimakan seperti yang tersebut dalam Surah al-Anam/6:143 dan 144, dan melarang memakan sepuluh macam makanan seperti yang tersebut pada ayat ketiga dari Surah ini. Orang yang sedang berihram haji dan umrah atau salah satu dari keduanya tidak dihalalkan berburu binatang buruan darat baik di tanah haram maupun di luarnya dan tidak dihalalkan memakan dagingnya. Bagi orang yang berada di tanah haram sekalipun tidak sedang berihram tidak dihalalkan berburu binatang buruan darat. Demikianlah Allah menetapkan hukum-Nya menurut kehendak-Nya untuk kemaslahatan hamba-Nya.
Tafsir al-Jalalain
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. (Dihalalkan bagi kamu binatang ternak) artinya halal memakan unta, sapi dan kambing setelah hewan itu disembelih (kecuali apa yang dibacakan padamu) tentang pengharamannya dalam ayat, "Hurrimat `alaikumul maitatu..." Istitsna` atau pengecualian di sini munqathi` atau terputus tetapi dapat pula muttashil, misalnya yang diharamkan karena mati dan sebagainya (tanpa menghalalkan berburu ketika kamu mengerjakan haji) atau berihram; ghaira dijadikan manshub karena menjadi hal bagi dhamir yang terdapat pada lakum. (Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendaki-Nya) baik menghalalkan maupun mengharamkannya tanpa seorang pun yang dapat menghalangi-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir
Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, telah menceritakan kepadaku Ma'an dan Auf atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berwasiatlah kepadaku." Maka Ibnu Mas'ud mengatakan, "Jika kamu mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan: 'Hai orang-orang yang beriman.' Maka dengarkanlah baik-baik oleh telingamu, karena sesungguhnya hal itu adakalanya kebaikan yang dianjurkan atau keburukan yang dilarang."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim Dahim, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Apabila Allah Swt. berfirman: 'Hai orang-orang yang beriman.' Maka kerjakanlah oleh kalian, dan Nabi Saw. termasuk di antara salah seorang dari mereka."
Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah yang mengatakan bahwa semua ayat di dalam Al-Qur'an yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. Maka ungkapan ini di dalam kitab Taurat berbunyi seperti berikut, "Hai orang-orang miskin."
Mengenai apa yang diriwayatkan melalui Zaid ibnu Ismail As-Sa'ig Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Hisyam), dari Isa ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa di dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. melainkan Ali adalah penghulunya, orang yang paling terhormat, dan pemimpinnya, karena para sahabat Nabi pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali ibnu Abu Talib. Sesungguhnya dia tidak pernah ditegur dalam suatu ayat pun dari Al-Qur'an.
Maka asar ini berpredikat garib, lafaznya tidak dapat diterima, dan di dalam sanadnya ada hal yang masih perlu dipertimbangkan.
Sehubungan dengan asar ini Imam Bukhari mengatakan bahwa Isa ibnu Rasyid yang ada dalam sanadnya adalah orang yang tidak dikenal dan hadisnya ditolak.
Menurut kami, dapat dikatakan pula bahwa Ali ibnu Bazimah sekalipun orangnya dinilai siqah, tetapi dia adalah orang syi'ah yang ekstrem, dan hadisnya dalam masalah yang semisal dengan hal ini dicurigai, karena itu tidak dapat diterima.
Lafaz asar (yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas) yang mengatakan, "Tidak ada seorang sahabat pun melainkan pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali." Sesungguhnya lafaz ini mengisyaratkan kepada pengertian suatu ayat yang memerintahkan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya banyak ulama yang bukan hanya seorang saja menyebutkan bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang tidak mengamalkannya kecuali Ali. Ayat yang dimaksud ialah firman-Nya:
Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kalian memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kalian tiada memperbuatnya, dan Allah telah memberi tobat kepada kalian. (Al Mujaadalah:13), hingga akhir ayat.
Penilaian makna ayat ini sebagai teguran masih perlu dipertimbangkan, mengingat ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa perintah dalam ayat ini menunjukkan makna sunat, bukan wajib. Lagi pula hal tersebut telah di-mansukh sebelum mereka melakukannya, dan hal ini tidak ada seorang pun dari mereka yang berpendapat berbeda.
Ucapan asar yang mengatakan, "Bahwasanya Ali belum pernah ditegur oleh suatu ayat pun dari Al-Qur'an," masih perlu dipertimbangkan pula. Karena sesungguhnya ayat yang ada di dalam surat Al-Anfal yang mengandung makna teguran terhadap sikap menerima tebusan (tawanan Perang Badar) mencakup semua orang yang setuju dengan penerimaan tebusan. Dalam masalah ini tidak ada seorang sahabat pun yang luput dari teguran ayat tersebut kecuali Umar ibnul Khattab r.a. Maka dari keterangan di atas dapat disimpulkan lemahnya asar tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna. telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menjeritkan kepada kami Al-Lais. telah menceritakan kepadaku Yunus yang mengatakan, "Muhammad ibnu Muslim pernah menceritakan bahwa dia pernah membaca surat Rasulullah Saw. yang ditujukan kepada Amr ibnu Hazm (amil Najran). Surat tersebut disampaikan oleh Abu Bakar ibnu Hazm. Di dalamnya termaktub bahwa surat ini adalah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya: 'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu' (Al Maidah:1). hingga beberapa ayat berikutnya sampai kepada firman-Nya: 'sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya' (Al Maidah:4)"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari ayahnya yang mengatakan, "Inilah manuskrip surat Rasulullah Saw. yang ada pada kami. Surat ini ditujukan kepada Amr ibnu Hazm ketika ia diangkat menjadi amil ke negeri Yaman dengan tugas mengajari agama dan sunnah kepada penduduknya serta memungut zakat mereka. Nabi Saw. menulis sebuah surat kepadanya yang berisikan perintah dan janji. Di dalam surat ini tertulis bahwa dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, 'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (Al Maidah:1). Yaitu perjanjian dari Muhammad Rasulullah Saw. kepada Amr ibnu Hazm, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman sebagai amil. Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya, karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang selalu berbuat kebaikan."
Firman Allah Swt.:
...penuhilah aqad-aqad itu.
Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan mengenai makna ini. Ia mengatakan bahwa 'uhud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al Maidah:1), Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al-Qur'an seluruhnya Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut
Kemudian Allah Swt. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan. (Ar-Ra’d: 25) sampai dengan firman-Nya: tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar Ra'du:25)
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al Maidah:1), Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al Maidah:1), Menurutnya ada enam perkara, yaitu janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah.
Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al Maidah:1), Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Dua orang yang bertransaksi jual beli masih dalam khiyar selagi keduanya belum berpisah.
Menurut lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:
Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah.
Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai transaksi jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendukung transaksi menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majelis, berarti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi.
Firman Allah Swt.:
Dihalalkan bagi kalian binatang ternak.
Yang dimaksud dengan binatang ternak ialah unta, sapi, dan kambing. Demikianlah menurut Abul Hasan dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Jarir mengatakan bahwa demikian pula menurut pengertian orang-orang Arab.
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang menyimpulkan dalil dari ayat ini akan bolehnya janin ternak bila dijumpai dalam keadaan mati dalam perut induknya yang disembelih. Sehubungan dengan masalah ini terdapat sebuah hadis di dalam kitab-kitab sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Mujalid, dari Abul Wadak Jubair ibnu Naufal. dari Abu Sa'id yang mengatakan:
Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bila kami menyembelih unta, sapi. atau kambing yang di dalam perutnya terdapat janin, apakah kami harus membuangnya atau kami boleh memakannya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Makanlah, jika kalian suka, karena sesungguhnya sembelihan janin itu mengikut kepada sembelihan induknya."
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya ibnu Faris, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ba-syir, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Ziyad Al-Qaddah Al-Makki, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sembelihan janin mengikut kepada sembelihan induknya.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
Firman Allah Swt.:
...kecuali yang akan dibacakan kepada kalian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hal yang akan dibacakan ialah bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan menurut Qatadah, yang dimaksud adalah bangkai dan hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah padanya. Menurut lahiriahnya —hanya Allah yang lebih mengetahui— hal yang dimaksud ialah apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, (Al Maidah:3)
Karena sesungguhnya sekalipun hal yang disebutkan termasuk binatang ternak, tetapi menjadi haram karena adanya faktor-faktor tersebut. Dalam ayat berikutnya disebutkan:
kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala. (Al Maidah:3)
Binatang yang diharamkan antara lain hewan yang disembelih untuk berhala. Sesungguhnya hewan yang demikian diharamkan sama sekali dan tidak dapat ditanggulangi serta tidak ada jalan keluar untuk menghalalkannya. Karena itulah pada permulaan surat ini disebutkan:
Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepada kalian. (Al Maidah:1)
Yaitu kecuali apa yang akan dibacakan kepada kalian pengharamannya dalam keadaan tertentu.
Firman Allah Swt.:
...(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang mengerjakan haji.
Menurut sebagian ulama, lafaz gaira dibaca nasab karena menjadi hal. Makna yang dimaksud dengan an'am ialah binatang ternak yang pada umumnya jinak, seperti unta, sapi, dan kambing. Juga binatang yang pada umumnya liar, seperti kijang, banteng, dan kuda zebra. Maka hal-hal tersebut di atas dikecualikan dari binatang ternak yang jinak, dan dikecualikan dari jenis yang liar ialah haram memburunya di saat sedang melakukan ihram.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah Kami menghalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang dikecualikan darinya bagi orang yang mengharamkan berburu secara tetap, padahal binatang tersebut hukumnya haram, karena ada firman Allah Swt yang mengatakan:
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nahl:115)
Artinya, Kami halalkan memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakannya, tetapi dengan syarat ia tidak dalam keadaan memberontak, juga tidak melampaui batas. Demikian pula ketentuan tersebut berlaku dalam ayat ini (surat Al-Maidah). Yakni sebagaimana Kami halalkan binatang ternak dalam semua keadaan, maka mereka diharamkan berburu dalam keadaan berihram. Sesungguhnya Allah telah memutuskan demikian, Dia Mahabijaksana dalam semua yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Karena itulah dalam firman Selanjutnya disebutkan:
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang di-kehendaki-Nya.
Tafsir Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab
[[5 ~ AL-MA'IDAH (HIDANGAN) Pendahuluan: Madaniyyah, 120 ayat ~ Surat al-Mâ'idah termasuk kelompok surat Madaniyyah. Surat ini berisikan 120 ayat, dan merupakan surat yang terakhir kali turun. Dalam surat ini terdapat berbagai hukum mengenai kewajiban memenuhi janji secara umum, baik janji antara hamba dengan Tuhannya maupun janji antar sesama manusia, mengenai makanan yang halal dan yang haram, dan mengawini wanita Ahl al-Kitâb; serta rukun wudu dan tayamum. Selain itu, juga terdapat keterangan mengenai pencarian keadilan bersama musuh, isyarat akan nikmat Allah kepada orang-orang Islam, kewajiban menjaga dan memelihara kitab suci, keterangan mengenai orang-orang Yahudi yang mengubah firman-firman Allah dari yang sebenarnya, keterangan mengenai orang-orang Nasrani yang melupakan sebagian dari apa yang diingatkan kepada mereka. Juga terdapat keterangan mengenai kekafiran orang-orang Nasrani itu dengan mengatakan bahwa 'Isâ al-Masîh adalah anak Allah, dan keterangan mengenai sikap orang-orang Yahudi yang menganggap bohong orang-orang Nasrani dengan mengaku bahwa Yahudi adalah anak-anak dan kekasih-kekasih Allah. Di samping itu, surat ini juga berisi kisah kaum Yahudi, kisah dua anak Adam yang melukiskan bahwa permusuhan merupakan tabiat anak cucu Adam, hukum kisas sebagai pendidikan bagi jiwa yang cenderung memusuhi yang lain, hukuman zina dan mencuri. Setelah itu, surat ini menerangkan kembali tentang orang-orang Yahudi yang telah mengubah syariat yang terdapat dalam kitab Tawrât, keterangan bahwa Tawrât dan Injîl mengandung kebenaran sebelum terjadi perubahan. Keharusan menerapkan hukum kitab suci yang diturunkan Allah, juga diterangkan dalam surat ini. Kemudian surat ini juga menerangkan tentang, sikap permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap masyarakat Islam dan larangan tunduk serta rela dengan apa yang mereka lakukan. Surat ini juga menetapkan kekafiran kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari tiga tuhan, dan penjelasan al-Qur'ân bahwa sebagian kaum Nasrani telah mengikuti kebenaran dan beriman kepadanya, larangan bagi orang yang beriman untuk mengharamkan sebagian makanan yang dihalalkan baginya, kafarat melanggar sumpah, larangan meminum khamar, keterangan manasik haji dan kemuliaan Ka'bah serta bulan-bulan suci, kebatilan orang-orang Arab yang telah mengharamkan sesuatu kepada diri mereka tanpa bukti dan alasan, dan hukum wasiat dalam bepergian. Selanjutnya pada akhir surat ini dijelaskan mengenai mukjizat Nabi 'Isâ a. s dan kekufuran Banû Isrâ'îl terhadapnya serta terbebasnya Nabi 'Isâ dari mereka yang menyembahnya. Semua yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah semata, dan Dia adalah Mahakuasa.]] Hai orang-orang yang beriman, penuhilah semua janji kalian kepada Allah dan janji antara sesama kalian. Allah telah menghalalkan daging unta, sapi dan kambing, kecuali apa yang telah diharamkan-Nya. Kalian tidak boleh berburu binatang darat pada saat melaksanakan ihram, atau ketika sedang berada di tanah haram. Sesungguhnya Allah menetapkan semua apa yang dikehendaki dengan adil, dan ini semua adalah perjanjian Allah dengan kalian(1). (1) termasuk dalam janji yang harus dipenuhi dalam ayat ini adalah janji yang diucapkan kepada sesama manusia. 'Uqûd (bentuk jamak dari 'aqd ['janji', 'perjanjian']) yang digunakan dalam ayat ini, pada dasarnya berlangsung antara dua pihak. Kata 'aqd itu sendiri mengandung arti 'penguatan', 'pengukuhan', berbeda dengan 'ahd ('janji', 'perjanjian') yang berasal dari satu pihak saja, dan termasuk di dalamnya memenuhi kehendak pribadi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al-Qur'ân lebih dahulu berbicara mengenai pemenuhan janji daripada undang-undang positif. Ayat ini bersifat umum dan menyeluruh. Sebab, dalam Islam terdapat hukum mengenai dua pihak yang melakukan perjanjian. Tidak ada hukum positif mana pun yang lebih mencakup, lebih jelas dan lebih terperinci daripada ayat ini mengenai pentingnya memenuhai dan menghormati janji.